ChanelMuslim.com – Orang Soleh pun Harus Ikhtiar
Mentok itu kata yang sangat relatif. Ada yang menilai tak ada jalan lagi. Tapi ada juga yang yakin masih ada jalan, asal mau berdoa dan ikhtiar.
Semua kita pasti ingin hidupnya lancar-lancar saja. Tak ada hambatan. Tak ada rintangan. Dan seterusnya. Tapi, rasanya bukan hidup kalau gak ada hambatan dan rintangan. Karena dari situlah kita bisa meresapi hidup sebagai seni mencari solusi.
Baca Juga: Beginilah Ketika Orang Soleh Dipuji
Orang Soleh pun Harus Ikhtiar
Ada juga yang langsung berserah diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Bagus, sih. Tapi, apa itu yang Allah maksudkan dengan “hadiah” hambatan dan rintangan?
Pertanyaan lain, apa kita memang sudah benar-benar ikhtiar? Kalau jawabnya sudah, apa ikhtiarnya sudah maksimal? Karena kalau belum apa-apa sudah berserah diri kepadan Allah, pahala amal dari ikhtiar akan lenyap begitu saja. Dan boleh jadi, di susah payah dalam ikhtiar itulah, yang Allah maksudkan sebagai “hadiah” luar biasa untuk kita.
Baiknya, jangan pernah menganggap diri kita orang soleh sehingga apa-apa selalu “berserah diri” kepada Allah. Artinya, cukup dengan doa, lalu hambatan kita diyakini akan secara otomatis selesai sendiri. Tak perlu kerja keras. Yang penting, doa yang banyak. Dan kita sangat meyakini bahwa doa yang dipanjatkan pasti terkabul.
Apa memang seperti itu Islam membimbing kita? Rasanya nggak juga. Begitu banyak orang-orang soleh sebelum kita yang ikhtiarnya sangat-sangat luar biasa. Ia tentu memanjatkan doa. Tapi doa menurutnya tidak menihilkan kerja keras yang patut dilakukan.
Perhatikan bagaimana Siti Hajar berikhtiar mencari air. Ia istri seorang Nabi. Bayi yang akan ia beri air pun seorang Nabi. Ia mencari airnya pun di pusat tanah suci.
Namun, apakah istri Nabi Ibrahim itu mencukupkan hanya dengan doa, sementara ikhtiarnya sekadar saja? Faktanya, wanita mulia ini berlari hingga tujuh kali, dari bukit Shafa menuju Marwa.
Jangan bayangkan keadaan Shafa Marwa seperti yang saat ini ada di Masjidil Haram. Sudah berlantai keramik dan beratapkan beton kokoh dan dilengkapi penerangan sempurna.
Saat itu, tempat itu masih belantara sahara gersang. Lantainya hanya pasir dan bebatuan cadas. Sementara atapnya teriknya matahari yang panas membara.
Siti Hajar tidak berlari bersama-sama seperti kita berlari antara Shafa Marwa saat ini. Ia berlari sendiri. Berlari lagi dan lagi. Karena hanya itu ikhtiar yang paling super yang bisa ia lakukan dalam suasana sendiri bersama bayi di tengah gurun gersang yang tak berpenghuni.
Menariknya, Allah menyediakan solusi sama sekali tidak berhubungan dengan ikhtiar Siti Hajar. Allah sediakan solusi sebagai rahmat: cinta dan sayangNya. Bayangkan, ikhtiar ibunda Nabi Ismail ini berlari-lari, sementara solusinya di lokasi lain dalam bentuk yang nyaris tak berhubungan dengan berlari-lari.
Artinya, sepertinya Allah menginginkan kita untuk bersusah payah dalam ikhtiar karena ini perintahNya. Bukan karena ada hubungan sebab akibat antara ikhtiar dengan solusi yang Allah turunkan. Ketika ada keyakinan bahwa ini sebagai sebab akibat, saat itulah kita seperti menafikan peran Allah dalam ikhtiar kita.
Seandainya Allah berkehendak, tak perlu orang-orang yang Ia cintai bersusah payah melakukan ikhtiar. Cukup dengan meminta, solusi pun datang. Tapi, di situlah cara Allah menyayangi hambaNya. Dua “hadiah” sekaligus diterima sang hamba: solusi dan pahala ikhtiar.
Kalau berserah diri hanya menjadi senjata andalan saat mentok menurut subjektif kita, boleh jadi, tidak ada karya manusia di dunia ini. Karena semua orang lebih sibuk duduk-duduk untuk hanya berdoa. Daripada, berpeluh keringat dan darah untuk berkarya. (Mh)