Chanelmuslim.com – Kabut asap akibat kebakaran hutan yang melanda beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan bebrapa waktu terakhir menyita banyak perhatian masyarakat. Tidak sedikit lembaga sosial dan LSM yang bergerak membantu meringankan korban asap dan kelompok relawan ini bergerak tanpa banyak kata mendatangi titik api dan berupaya memandamkan api.
Mereka adalah anggota Sekolah Relawan serta warga lokal yang sejak awal sudah terjun memadamkan kebakaran hutan di Kalimantan, tepatnya di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Belasan orang ini sudah hampir sebulan berada di Tumbang Nusa, bahu membahu memadamkan ganasnya api yang menghanguskan isi hutan. Kini, ketika api sudah padam, mereka memutuskan untuk bertahan karena persoalan masih tersisa.
“Sejak 10 hari yang lalu memang sudah tak ada pemadaman, titik api sudah berkurang. Kini fokus kami pada pembuatan sumur bor untuk sumber air bagi pemadaman api, karena tadi pagi masih muncul api dalam skala kecil,” jelas Bayu Gawtama, pendiri Sekolah Relawan saat seperti dilansir Liputan6.com, Rabu (4/11/2015).
Anggota Sekolah Relawan yang berada di Tumbang Nusa ini merupakan sebagian kecil dari 200 anggota yang tersebar di 15 kota dan kabupaten di Indonesia. Mereka pun berasal dari berbagai latar belakang profesi. Mulai dari wirausaha, guru dan mahasiswa.
“Ada 25 anggota Sekolah Relawan yang diterjunkan di sini, tapi sebagian sudah pulang dan digantikan anggota lain untuk penyegaran,” ujar pria yang akrab disapa Gaw ini.
Bawa Peralatan Sendiri
Selain anggota Sekolah Relawan, dia juga mengaku dibantu oleh relawan lokal yang terdiri dari anak muda yang sangat mengetahui kondisi hutan di Kalimantan. “Kami sangat terbantu, karena mereka sangat tahu seluk beluk hutan di sini,” jelas warga Bogor, Jawa Barat yang berprofesi sebagai guru dan pengusaha restoran ini.
Selama kebakaran hutan beberapa waktu lalu, setiap hari anggota Sekolah Relawan dan warga lokal bahu membahu memadamkan api dengan peralatan yang mereka punya. Kini, ketika api sudah padam, mereka tetap masuk hutan untuk menggali tanah dan membuat sumur bor di bekas lahan yang terbakar.
Ketika kabar kabut asap menebal di wilayah Kalimantan Gaw sudah bergerak menggalang donasi dan berkordinasi perlengkapan apa yang dibutuhkan untuk dapat memadamkan api di hutan.
“Peralatan kami bawa sendiri, karena sebelum berangkat kami sudah koordinasi dengan relawan-relawan lokal di Jumpun Pambelom, Tumbang Nusa, tentang apa-apa yang dibutuhkan. Seperti selang air dan mesin bor,” jelas Gaw.
Bisa dipastikan, bekerja di tengah udara yang panas akan menimbulkan kelelahan. Namun, itu tak melemahkan semangat mereka. Bahkan, kegembiraan tetap dirasakan ketika mereka melepas lelah atau mencicipi ransum makan siang yang sederhana.
nggota Sekolah Relawan memang tak pernah mengeluh karena sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang dilakukan secara swadaya dalam banyak hal, termasuk dalam penyediaan asupan gizi bagi para relawan ini.
“Kita biasanya masak sendiri untuk dimakan bersama. Tapi, untuk biaya hidup sehari-hari tak hanya dari kami, masyarakat sekitar juga memberi dukungan dalam bentuk sumbangan. Terutama dari Pak Januminro, pemilik Jumpun Pambelom, hutan konservasi. Sumbangan itu juga yang kami gunakan untuk membeli kebutuhan lain, seperti membeli bensin dan lainnya,” papar Gaw.
Bahkan, untuk biaya transportasi ke Kalimantan, dia mengaku anggota Sekolah Relawan mengongkosi diri sendiri. “Ada yang mengongkosi diri sendiri, bagi yang tak punya kami carikan,” jelas dia.
Lantas, pernahkah Sekolah Relawan mendapatkan bantuan pemerintah dalam aktivitasnya? “Nggak pernah dan nggak mikirin juga sih,” singkat dia.
Belajar dari Pengalaman
Gaw yang mendirikan Sekolah Relawan pada 2013 mengaku sekolah yang dibentuknya hanyalah nama, namun tak ada secara fisik. Tak ada bangunan sekolah atau guru sebagai pendidik.
“Banyak orang yang bersemangat menjadi relawan, tapi tak dibarengi dengan skill yang cukup, karena itu di Sekolah Relawan kami belajar bersama dan saling bertukar pikiran dan pengalaman,” papar ayah 4 anak ini.
Gaw sendiri sudah kenyang dengan pengalaman terjun di daerah bencana sejak tahun 2002. Dia pernah ikut sebagai relawan saat tsunami menerjang Aceh, banjir Jakarta, gempa Yogyakarta, letusan Merapi 2006 dan 2010 serta gempa Padang, sehingga banyak pengalaman bisa dia bagi kepada anggota Sekolah Relawan.
Saat ini, para relawan sudah menuntaskan pembuatan 26 sumur bor di hutan Kabupaten Pulang Pisau dari target 100 sumur bor yang akan dibuat. Sumur-sumur ini dananya berasal dari masyarakat dan sinergi beberapa lembaga serta Jumpun Pambelom sebagai pihak lokal. Setelah hampir sebulan berjibaku dengan api, Gaw merasa sudah waktunya untuk kembali berkumpul dengan keluarga.
“Minggu ini kami harus balik, karena semua sudah kelelahan. Kami serahkan pekerjaan yang tersisa (membuat sumur bor) kepada relawan lokal,” tutup Gaw.
Kelompok relawan ini patut diacungi jempol, berinisiatif melakukan solusi tuk hadapi masalah tidak sekedar berbicara tidak melulu mengkritik. [IA/liptan6]