ChanelMuslim.com – Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (ALPPIND) mengkritisi pendidikan sexual consent di ranah perguruan tinggi dan mengatakan bahwa hal itu sangat tidak patut diterapkan di Indonesia.
Ketua Umum Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (ALPPIND) Hj. Atifah Hasan, Lc. menyikapi kontroversi mengenai “Sexual Consent” (Persetujuan untuk Melakukan Hubungan Seksual) dalam menekan kekerasan seksual di lingkungan kampus dan masyarakat, yang sedang menjadi perbincangan publik sepekan terakhir ini. ALPPIND sebagai organisasi yang peduli terhadap keluarga, perempuan dan anak negeri, dengan ini menyampaikan pandangan kritisnya.
Menurut ALPPIND, Indonesia adalah Negara Hukum berasaskan Pancasila. Setiap pengaturan hubungan hukum antar manusia ada yang dinyatakan secara tegas di dalam Undang-Undang, ataupun menjadi hukum yang hidup di masyarakat (living law), dan walaupun Indonesia bukan negara agama, tetapi agama menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
“Ketika mendengar terjadi sosialisasi “Sexual Consent” pada salah satu kampus di negeri ini, kami menganggap bahwa hal tersebut, perlu ditelaah dan dikritisi, mengingat perihal Sexual Consent ini juga menjadi substansi muatan yang sama di dalam draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Hj. Atifah dalam rilis yang diterima ChanelMuslim.com, Kamis (24/9/2020).
RUU P-KS ditolak banyak pihak karena paradigma utama yang melandasi pembentukan RUU tersebut memandang perbedaan gender laki-laki dan perempuan sebagai dua hal yang saling berlawanan atau harus setara dalam semua hal serta menyebutkan bahwa kekerasan seksual disebabkan budaya patriarkhi. Selain itu, juga menekankan HAM sebagai wujud kebebasan dalam penentuan sikap termasuk terkait dengan hubungan seksual, namun UUD 1945 Pasal 28J menyebutkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
“Pendidikan seksual berbasis persetujuan (consent) yang menitikberatkan pada pemahaman suka sama suka, sangat tidak patut. Bukan pencerdasan terhadap bahaya kekerasan seksual yang didapat, tetapi derasnya perbuatan perzinahan yang berujung kehancuran generasi bangsa,” lanjut Hj. Atifah.
Ustazah Atifah menambahkan, Sexual Consent (persetujuan dalam melakukan hubungan seksual) jangan diartikan sebagai kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUHPerdata) dibatasi dengan syarat “Kecakapan” dan “Suatu Sebab yang Halal”.
“Melakukan hubungan seksual hanya dengan batasan persetujuan, tanpa paksaan, jelas bertentangan dengan Pancasila, hukum agama atau peraturan yang hidup di masyarakat (living law). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berasal dari Barat saja mengatur kecakapan dan sebab-sebab yang tidak halal tidak dapat menjadi alasan kebebasan berkontrak. Bagaimana mungkin Indonesia yang ber-Pancasila menjadikan asas persetujuan cukup menghalalkan suatu hubungan seksual, dan menyatakan tidak terjadi kekerasan seksual?” tegas ALPPIND.
Cukuplah sudah kerusakan moral di negeri ini ketika zina hanya dilarang untuk mereka (atau salah satunya) yang telah terikat dalam perkawinan dan tidak dilarang antara mereka yang tidak terikat dalam perkawinan (Pasal 284 KUHP) saja, jangan ditambah dengan Sexual Consent, sebagai penghapus pidana kekerasan seksual (jika RUU – Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan).
“Dalam perkawinan, pengaturan Sexual Consent dan pemberian hak penuh istri atas tubuhnya (my body is mine) tidak sesuai dengan konsep syariat Islam yang mewajibkan istri melayani suami jika tidak ada halangan syar’i,” ungkap Hj. Atifah yang juga Ketua BKMT itu.
ALPPIND menambahkan, pendidikan seksual sepatutnya mendahulukan upaya pencegahan yakni tindakan preventif untuk mengatasi terjadinya kekerasan seksual melalui kesigapan dalam mengidentifikasi, mengenali lebih awal tindakan yang mengarah pada perbuatan tersebut, sekaligus peningkatan iman, takwa dan akhlak mulia.
“Fakta membuktikan, kekerasan seksual di negeri ini tidak separah dibandingkan dengan negara-negara lain, karena apa? Karena masyarakatnya masih mempertahankan ajaran agama, adat istiadat, dan Pancasila,” kata Hj. Atifah.
Undang-Undang menjamin keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
“Maka dirasa perlu untuk menegaskan kembali bahayanya sosialisasi sexual consent menurut kami sebagai masyarakat, bukan sebagai solusi pencegahan kekerasan seksual,” tutupnya.[ind]