ChanelMuslim.com – Beragama Itu dengan Ilmu, Bukan dengan Perasaan
Wabah corona memberikan hikmah tersendiri untuk umat Islam di semua negeri. Antara lain, pemahaman bahwa Islam sudah mengajarkan umat manusia tentang karantina wilayah atau yang biasa disebut lockdown. Sayangnya, tidak semua umat mengamalkan agama dengan ilmu. Tapi, lebih sekadar perasaan.
Nabi saw. mengajarkan kita terkait sebuah wabah. “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia.
Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).
Baca Juga: Beragama dengan Logika
Beragama Itu dengan Ilmu, Bukan dengan Perasaan
Adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. yang pernah mengalami bagaimana bersikap terhadap sebuah wabah. Saat itu, beliau mendapatkan kabar bahwa ada sebuah wilayah di Suriah saat ini yang terjangkit wabah. Padahal, di daerah itu diketahui tinggal dua sahabat ternama: Muadz dan Abu Ubaidah.
Bersama dengan rombongan, Umar pun berangkat ke lokasi. Tapi, beliau mengurungkan rencananya itu manakala diingatkan oleh sahabat tentang sebuah hadis nabi saw. tentang wabah.
Itulah Umar bin Khaththab r.a. yang mengamalkan agama dengan ilmu, bukan perasaan. Beliau tidak mau gegabah melaksanakan amal baik, berupa penyelamatan terhadap umat Islam khususnya dua sahabat ternama tersebut dari wabah.
Beliau tidak menganggap kalau kita berniat baik, beramal soleh, pasti Allah akan menyelamatkan dari wabah. Padahal, level ketakwaan Umar melampaui siapa pun dari umat Islam saat ini. Beliau tunduk dengan apa yang diajarkan oleh Nabi saw. terhadap suatu hal. Jika nabi saw. mengajarkan tentang suatu hal, hal itulah yang paling benar. Meskipun, perasaan kita menilai lain.
Dan, sejarah membuktikan ketaatan Umar r.a. saat itu. Beliau tidak memasuki wilayah wabah itu. Meskipun, akhirnya dua sahabat ternama tadi wafat. Umar dan sahabat yang terjebak dalam wabah meyakini hadis nabi saw., siapa pun yang sabar (tidak keluar dari wilayah) dan wafat dalam wilayah yang terjangkit wabah adalah mati dalam syahid di jalan Allah.
Umar mengamalkan agama dengan ilmu. Begitu pun para sahabat yang terjebak dalam daerah yang terjangkit wabah. Mereka ridha dengan apa yang diajarkan Nabi saw. Tidak berpikir emosional: kok teganya kami ditinggal begitu saja di daerah yang terjangkit wabah.
Secara umum, terhadap wabah atau penyakit yang menular, Nabi saw. mengajarkan kita untuk menjauh. Tidak memainkan logika sesat dengan berpikir, kalau Allah mentakdirkan kena, ya kena. Kalau tidak, ya tidak. Tanpa ada usaha untuk menjauh.
Nabi saw. bersabda,
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الأَسَدِ
“Larilah dari penyakit kusta seperti engkau lari dari singa.” (HR. Muslim)
Saat ini, pemerintah dan majelis ulama sudah memberikan keputusan, bagaimana harusnya beribadah di tengah wabah. Semua dilengkapi dalil dari berbagai sisi. Tapi anehnya, masih ada umat yang menilai lain.
Mereka yang menolak keputusan itu bukan dengan dalil ilmu. Tapi, dengan dalil perasaan. Seperti, “Kenapa kita lebih takut kepada corona daripada takut kepada Allah.” Siapa di antara kita yang lebih takut kepada Allah melebihi takutnya Umar bin Khaththab. Tapi, Umar tidak masuk ke daerah wabah.
Alasannya, Umar mematuhi aturan tentang wabah bukan karena takut dengan wabah. Melainkan, karena ingin mengamalkan sunnah nabi saw. yang mengajarkan kita bagaimana bersikap di saat wabah.
Ada lagi yang menilai, “Rasanya nggak pantas kalau kita tidak melaksanakan shalat Jumat padahal kita sehat dan masjid tersedia.” Ada lagi yang menilai, “Kok, rasanya tidak nyaman kalau kita meninggalkan shalat berjamaah di masjid hanya karena corona.” Dan seterusnya.
Semua berdalil dengan perasaan, bukan dengan ilmu. Padahal, firman Allah swt. dalam Surah Annisa ayat 59 begitu jelas bagaimana umat Islam melaksanakan ketaatan atau amal soleh. Yaitu, mentaati Allah, mentaati Rasul, dan ulil amri di antara kita.
Siapa ulil amri? Mufasirin menjelaskan, ulil amri antara lain amir (pemerintah) dan ulama. Selama, mereka memerintahkan kita berdasarkan dalil Alquran dan Sunnah atau tidak dalam hal yang menyelisihi sunnah nabi saw.
Kalau Allah swt. sudah memerintahkan kita untuk tidak menjatuhkan diri kita dalam kebinasaan, kalau nabi saw. memerintahkan kita untuk menjaga diri dari wabah, dan kalau ulil amri sudah memberikan keputusan bagaimana sikap kita; kenapa masih ada penilaian lain sehingga kita tidak mematuhi semua keputusan itu.
Apa kita merasa lebih soleh dari Umar bin Khaththab? Apa kita merasa lebih berilmu dari para ulama yang sudah bermusyawarah dalam satu majelis?
Kalau kita beramal dengan perasaan, mungkin akan banyak sunnah nabi saw. yang akan kita abaikan. “Ah, sepertinya tidak enak kalau hanya karena bepergian jauh kita mengkorting rakaat shalat wajib. Ah, sepertinya tidak pas, hanya karena sakit kita berwudhu dengan bertayamum.” Dan seterusnya.
Kalau terus dengan perasaan, mungkin suatu saat nanti, ketika menunaikan ibadah haji, kita akan berpikir, “Ah sayang sekali saya bertawaf hanya dengan mengelilingi Ka’bah 7 kali. Padahal, ongkos yang sudah saya keluarkan hampir seratus juta.” (Mh)