ChanelMuslim.com – Dua muslimah asal Indonesia, Rahmadiyanti Rusdi dan Novi mengalami peristiwa yang cukup menegangkan di Palestina. Mereka memang sedang berziarah ke negeri para syuhada ini. Ketika mereka sedang bergegas menuju Al Aqsha untuk melakukan shalat subuh, mereka dihadang oleh tentara Israel dan tidak diperbolehkan masuk ke area Al Aqsha karena Rahmadiyanti mengenakan syal dan bros bergambar bendera Palestina. Rahmadiyanti menuliskan peristiwa yang dialaminya ini di akun facebooknya, berikut isi tulisannya dengan judul:
“Syal yang Menakutkan”.
Saat itu sudah lewat pukul 4 pagi. Saya dan Nadia bergegas menyusuri lorong Old City Al Quds dari Herod’s Gate. Kami sedikit terlambat karena harus menyiapkan kedua ibu kami. Tadinya beliau-beliau mau ikut qiyamul lail dan subuh berjamaah di Al-Aqsha, tapi karena lelah, tidak jadi ikut.
Mendekati gerbang masuk Al-Haram Asy-Syarif, lima tentara Isr43l terlihat di depan gerbang. Makin dekat, mereka menghadang kami.
"Where are you from?” kata salah satu tentara. Tentara lain mengamati kami, lekat.
“Indonesia,” jawab saya. Tentara tersebut lebih tajam mengamati saya. Pongah.
“What is that?” tunjuknya ke leher saya.
“This?” saya menunjuk syal yang saya pakai. “Scarf,” kata saya pendek.
“What is that?” tentara itu mengulang. Sepertinya dia juga melihat bros bendera Palestina yang saya pakai.
Saya mengurai syal, sudah tahu maksud si tentara.
“This is scarf with Indonesia flag,” saya menunjuk sisi syal rajutan dengan bendera Indonesia, “and this, Palestine flag,” menunjuk sisi lain.
“Palestine.” Tentara pongah tersebut berkata pendek. Empat tentara lain membentuk setengah lingkaran di depan kami. Sepi. Tumben, tidak ada jamaah lain (kebanyakan pria-pria lanjut usia warga Palestina) dan turis Muslim yang melewati gerbang.
“You can not enter,” kata si tentara, enteng.
“Why?” tanya saya.
“You can not enter. Go back,” sahutnya.
“Why?” saya menantang.
“Go back!” katanya lagi. Keras.
Saya melepas syal. Berusaha memberi kode bahwa saya tidak akan memakai, meski dada saya sudah bergemuruh.
“No, go back!” kata si tentara makin pongah.
Saya menatap Nadia, kemudian menarik tangannya. Di belokan tak jauh dari situ dan tak terlihat oleh mereka saya berkata pada Nadia, sambil mencopot bros bendera Palestina, “Kita cari gerbang lain.” Tapi kemudian saya berpikir, gerbang lain cukup jauh, dan pasti kami tidak bisa mengejar Shubuh berjamaah. Mungkin kami terlihat sedikit bingung, seorang penjual di dekat situ bertanya, “What happened?”
Saya jelaskan, kami tidak boleh masuk karena saya memakai syal bendera Palestina. Saya menunjukkan syalnya. Seorang kakek mendekat dari arah lain, akan membeli sesuatu dari penjual, menyimak percakapan kami. Penjual itu menawarkan untuk menyimpan syal saya. “You can take it when you back here.” Saya ragu, saya jelaskan kalau sepertinya si tentara akan tetap melarang kami meski saya sudah tidak memakai atau membawa syal. Sebab hakikatnya adalah “pesan” yang ada dari bendera Palestina. Mereka takut. Mereka tak ingin Palestina eksis dan saya show off dengan syal itu.
"You can try…” kata si penjual. Saya masih ragu. Tiba-tiba kakek berkata, “I’ll help you.” Dia meminta syal yang masih dipegang oleh penjual, kemudian memasukkan syal tsb ke kantung jaketnya. “You go first,” katanya. “We’ll meet inside.” Saya dan Nadia pun kembali ke gerbang. Sebenarnya andai syal itu tak kembali pada saya, tak masalah. Saya malah khawatir terjadi apa-apa pada sang kakek.
Makin dekat gerbang, tentara-tentara itu menatap kami lebih tajam. Tentu, mereka masih mengenali. Saat berhadapan saya bilang bahwa syalnya sudah tidak ada pada saya. Mereka tak percaya, Tas saya diperiksa detail. Tidak ada. Ransel Nadia jadi sasaran. “Open it!” katanya, curiga syalnya saya simpan di ransel. Diperiksa hingga bagian bawah ransel. Setelah yakin tidak ada, mereka dengan enggan melepas saya dan Nadia. Kami pun masuk ke dalam komplek. Saya misuh-misuh. “Dasar Z10n1s brengsek, penjajah, $@#&*?$%…”
“Mbaaak,” kata Nadia sambil tertawa. “Saya masih halus itu, Nad, belum keluar kata la’natullah alaih,” kata saya.
Mendekati Dome of the Rock, di belakang kami terlihat sang kakek. Tapi saya tetap berjalan, hingga aman dari penglihatan tentara-tentara. Di Dome of the Rock kami menunggu kakek, kakek pun mengambil syal saya dari kantungnya dan memberikannya pada saya. Sambil berjalan menuju Masjid Qibli, saya berbincang dengan sang kakek yang lahir tahun 1940 dan menjadi saksi saat Isr43l menjajah, dari peristiwa 1948, 1967, 1993 (Perjanjian Oslo), 2000 (Camp David), hingga Intifada. Tahun-tahun yang malah makin mengerogoti wilayah Palestina, hingga kini.
Setelah mengucap terima kasih, kami berpisah di Masjid Qibli. Saya dan Nadia ke bagian muslimah. Alhamdulillah masih sempat qiyamul lail sebelum Shubuh berjamaah.
Sebenarnya saya agak heran, sehari sebelumnya, saat Shubuh juga, saya memakai syal yang sama, bros bendera Palestina, bahkan t-shirt bertulis Free Palestine. Kenapa kemarin lancar saja? Kemudian saya ingat, sehari sebelumnya, kami memasuki gerbang bersama dengan jamaah lain yang sama-sama menunggu gerbang dibuka. Bisa jadi, tentara-tentara tersebut tidak ngeh, karena ramai. Sedangkan pada kejadian ini, saya hanya berdua dengan Nadia, tidak ada jamaah lain yang membersamai kami. Sehingga mungkin terlihat jelas. Wallahu’alam.
[MY/ sumber: facebook: Rahmadiyanti Rusdi]