TAHUKAH Sahabat Muslim bahwa menulis narasi bisa menjadi terapi mengatasi emosi? Terapi menulis naratif bisa dilakukan saat individu sangat emosional dan tidak dapat mengatasi serta mengelola emosi tersebut dengan baik.
Demikian disampaikan Setiawati Intan Savitri yang pada 2019 lalu membuat disertasi berjudul “Pengaruh Jarak Psikologis dalam Menulis Naratif terhadap Refleksi Diri Adaptif”.
Baca Juga: Narasi Kepemimpinan Bersama Najwa Shihab
Menulis Narasi Bisa jadi Terapi Atasi Emosi
“Refleksi diri adalah kemampuan yang diberikan Tuhan untuk manusia yang tidak dimiliki makhluk lain, hal ini bisa dikembangkan untuk membaca diri masa lalu dan masa depan,” ujar Intan membuka paparannya.
Diterangkan lebih lanjut seperti dikutip dari aksesnews.com, menulis sebagai salah satu metode untuk melakukan refleksi diri sebenarnya sudah dilakukan banyak ahli, diantaranya James Pennebaker yang menyebutnya sebagai menulis ekspresif.
Maksudnya adalah menulis dengan cara mengekspresikan pemikiran dan perasaan terdalam tentang peristiwa negatif yang pernah dialaminya. Umumnya praktik ini menggunakan kata ganti persona pertama (aku, saya).
Sementara, dari sisi kognitif, menulis dianggap membantu seseorang untuk menstrukturkan pikiran, mengatur diri dan emosinya dengan cara mengenali kembali emosi yang muncul, merefleksikan kembali persoalan dengan menemukan sebab-akibat dari pengalaman yang dihadapi (insight), mendorong untuk menemukan makna di balik peristiwa yang dialaminya.
Hanya saja, yang sering terjadi adalah seseorang menjadi larut dalam peristiwa yang dialaminya. Maka, kemudian muncul refleksi diri adaptif dengan menulis menggunakan konsep menjaraki diri.
Dengan mengaktivasi perspektif pengamat yang menunjukkan proses menjaraki-diri. Contoh, saya melihat diri saya yang tumbuh menjadi pemberani setelah peristiwa itu terjadi.
“Kemampuan kata ganti pertama dengan fungsi reflektif yang mengaktivasi perspektif pengamat ini belum dieksplorasi lebih jauh. Hal ini merupakan kesenjangan teoritis yang akan dijelaskan dalam disertasi ini,” katanya.
Hasilnya, penelitian ini menguatkan temuan sebelumnya yaitu menggunakan perspektif pengamat atau menggunakan kata ganti persona nama diri (non pertama) dengan cara menulis memberikan efek menjaraki-diri yang adaptif.
Namun, disertasi ini menambahkan hal yang spesifik terkait penggunaan kata ganti persona pertama yang pada studi sebelumnya dianggap maladaptif dalam konteks refleksi diri.
Hal ini menjadi relevan dalam praktik terapi menulis naratif yang dikembangkannya.
Menulis naratif sendiri adalah pertolongan pertama secara psikologis yang dapat dilakukan secara mandiri oleh individu saat mengalami problematika yang membutuhkan pengelolaan emosi. Terapi menulis naratif bisa dilakukan saat individu sangat emosional dan tidak dapat mengatasi serta mengelola emosi tersebut dengan baik.
“Dalam hal ini, evaluasi dan kritik yang berlebihan terhadap diri yang memiliki konsekuensi meningkatkan emosi negatif terhadap diri, tidak terjadi disebabkan munculnya jarak psikologis yang memungkinkan individu untuk tidak egosentrik,” tutupnya.
Intan meraih gelar Doktor Psikologi dari Universitas Indonesia (UI). Sidang terbuka promosi Doktor berlangsung di Gedung H Lantai 4, kampus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada 11 Desember 2019 lalu. [ind/Cms]