BUKU Api Sejarah ini dapat menjadi bacaan di kala senggang bagi kamu penyuka sejarah, cocok untuk dibaca bertepatan dengan Bulan Kemerdekaan ini.
‘Sejarah itu penting karena membentuk cara pandang dan falsafah hidup’ ~ Ust. Akmal Sjafril.
Pernah dengar adagium, sejarah ditulis oleh sang pemenang, dimana unsur politis dan kekuasaan berpengaruh di dalam penulisannya.
Semakin banyak membaca sejarah, maka akan terlihat banyak sekali sudut pandang, tergantung dari konteks saat penulisan sejarah.
Sejarah Bangsa Indonesia pun mengandung unsur politis —menjadi faktor utama yang dikritisi dalam buku ini— campur tangan kolonial Belanda dalam ‘menciptakan’ sejarah.
Di sisi lain, kurang perhatiannya para ulama pada penulisan sejarah di masa tersebut, juga menjadi faktor kurang beredarnya literatur sejarah sudut pandang Islam.
“Banyak ulama sangat mengerti tentang tajwid, fiqih, hadist, tetapi kurang pemahamannya tentang sejarah. Kalau belajar tarikh, hanya belajar abu tarikh, bukan api sejarahnya. Situasi yang demikian inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda yang mencoba mengubah opini publik rakyat Indonesia, agar tidak berkiblat lagi kepada ajaran ulama dan Islam.” Api Sejarah h.289, disadur dari Di bawah Bendera Revolusi – Ir. Soekarno.
Penulis, Ahmad Mansur Suryanegara, melihat wawasan dan literatur sejarah kemerdekaan Indonesia masih meminggirkan peran ulama dan Islam.
Resensi Buku Api Sejarah Jilid 1
Padahal, sejarah kebangkitan dan perjuangan melawan penjajah, tidak luput dari masa saat agama menjadi faktor pemicu imperialisme dan kearoganan, seperti masa pertentangan antara Katolik dan Protestan di Eropa.
Api Sejarah terbagi menjadi dua jilid, sementara ini saya baru menyelesaikan jilid pertama — semoga menyusul jilid keduanya.
Pada jilid pertama, perjalanan sejarah dibagi menjadi empat gerbang, Kebangkitan Islam dan Pengaruhnya di Nusantara Indonesia; Masuk dan Perkembangan Agama Islam di Nusantara Indonesia; Jawaban Kekuasaan Politik Islam Terhadap Imperialisme Barat; dan Ulama Pembangkit Gerakan Kesadaran Nasional Indonesia.
Pada gerbang pertama dan kedua, penulis memaparkan sejarah-sejarah masa Rasulullah dan seterusnya dan perang di Eropa, di masa gereja sedang berkuasa.
Sejarah keduanya kelak memiliki kaitan dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara Indonesia.
Gerbang ketiga dan keempat menjadi lebih menarik karena pembahasan sudah fokus kepada Nusantara, tentang sejarah kerajaan, perang perlawanan di daerah-daerah, kebangkitan politik dan pendidikan di Indonesia.
Membacanya bisa mengingatkan sebagian pelajaran sejarah masa-masa SMP dan SMA.
Pada bab ketiga dan keempat inilah banyak dipaparkan unsur keIslaman yang dihilangkan dalam sejarah. Kasus yang sempat ramai di jagat maya adalah perkara tanggal berdirinya Budi Utomo yang dilanggengkan menjadi Hari Kebangkitan Nasional.
Penulis menilai sebelum adanya Budi Utomo, kebangkitan nasional sebenarnya sudah ada yaitu Syarikat Dagang Islam yang dipelopori Haji Samanhudi.
Kebangkitan yang dimulai dari pasar atau perekonomian kerakyatan ini, lebih meluas dibandingkan Budi Utomo yang misinya masih kejawaan.
Selain itu, simbol-simbol mata uang, kerajaan atau tokoh pahlawan yang dihilangkan unsur ke-Islam-annya.
Menarik membaca sejarah dengan sudut pandang yang baru buat saya. Namun, hal yang membuat saya kurang nyaman adalah masalah sistematik dari urutan sejarah, maju mundurnya agak membingungkan bagiku yang kurang bisa menghafalkan tahun sejarah.
Juga, ada pengulangan sebagian sejarah, yang mungkin dimaksudkan untuk penekanan, tapi karena berulang kali sempat membuat jenuh.
Selebihnya, saya sangat mengapresiasi buku ini yang memberikan sebuah pandangan dari sudut lain dan menggugah keinginan untuk mencari literatur lain untuk berkenalan dengan sejarah dari berbagai sudut pandang.
Buku ini juga berhasil membangkitkan harga diri, khususnya diriku, bahwa kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan bukan serah terima.
Terngiang perkataan Ust. Salim A Fillah, ‘Indonesia BUKAN 350 tahun dijajah, tetapi 350 tahun BERJUANG MELAWAN penjajah.’[Yayan]