ChanelMuslim.com- Tak pernah terbayang oleh Bu Tuti akan mengalami perjalanan panjang dan melelahkan, dari Stasiun Depok ke Kota dan sebaliknya.
Awalnya, perjalanan Ibu yang berdomisili di Depok ini lancar-lancar saja. Ia mengendarai sepeda motor dari rumahnya menuju stasiun Depok. Dari stasiun Depok, ia berhenti di stasiun akhir Jakarta Kota.
Dari stasiun Kota, Bu Tuti hanya naik ojek sekitar 10 menit menuju rumah mertuanya di Gang Kancil, Jalan Gajah Mada.
Begitu pun rute pulangnya menuju Depok. Cukup naik ojek online menuju Stasiun Kota, kemudian turun kereta di Stasiun Depok, jemput motor yang dititip di stasiun, kemudian perjalanan pun selesai.
Begitulah bayang-bayang rencana perjalanan Bu Tuti. Tidak heran jika ibu usia lima puluhan ini tak membawa uang tunai dalam jumlah banyak. Di dompetnya hanya ada 50 ribu rupiah. Itu pun sudah sangat cukup, karena ia sudah melengkapi biaya transportasi dengan kartu bank: untuk kereta dan bus Transjakarta jika diperlukan.
Uang tunai hanya digunakan untuk membayar ongkos ojek online. Atau, sekadar membeli air minum jika memang terasa haus yang tak tertahankan.
Tapi, bayang-bayang normal itu buyar dengan sendirinya saat Bu Tuti pulang dari rumah mertuanya. Setibanya di Stasiun Jakarta Kota, Bu Tuti yang kebetulan membawa kue hadiah dari mertuanya tak bisa masuk stasiun.
“Maaf, Bu, listriknya mati, mungkin agak lama,” jelas salah seorang petugas yang menjaga stasiun.
Bu Tuti pun mendapati pemandangan baru di stasiun. Sejumlah penumpang duduk-duduk di lantai stasiun seperti menunggu lama. Di papan pengumuman elektronik tertulis, ‘Kereta belum tersedia.” Padahal, hampir di semua rel yang ada terdapat kereta yang sudah standby.
Bu Tuti pun menunggu beberapa puluh menit. Ia mengira, listrik padamnya hanya satu jam sejak ia tiba di stasiun itu. Tapi, justru ia melihat orang-orang yang di dalam stasiun mulai keluar karena merasa terlalu lama menunggu. Rata-rata mereka ingin mencoba kendaraan lain, seperti bus Transjakarta.
Bu Tuti pun mencoba berpikir cepat. Ia berinisiatif mencoba naik bus Transjakarta seperti calon penumpang kereta yang lain. Ia membayangkan akan naik bus dengan nyaman.
“Ah, paling-paling listrik matinya hanya di wilayah Kota saja, di jalur Tanahabang akan normal seperti biasa.
Bu Tuti mulai ragu dengan harapannya itu. Pasalnya, tiket bus Transjakarta yang biasanya dibayar dengan kartu bank, ternyata harus dengan uang tunai sebesar Rp 3.500. Antrinya, jangan dibilang: ramai tapi lancar.
Pemandangan tak mengenakkan pun bukan hanya di luar bus. Di dalam pun cukup memprihatinkan. Bus begitu sesak penumpang. Jangankan bisa duduk, bisa meletakkan kaki secara normal pun sudah sangat beruntung.
Di setiap halte, penumpang yang naik dan turun begitu berjubal. Saling dorong pun tak terelakkan. Sepanjang perjalanan itu, Bu Tuti berdiri dan diombang-ambing oleh arus penumpang yang padat.
Setibanya di Halte Dukuh Atas, Bu Tuti turun dari bus. Ia berencana akan naik kereta melalui Stasiun Sudirman. Tapi ia masih ragu ketika di halte itu tiket bus tetap dibayar dengan uang tunai, bukan dengan kartu seperti biasanya.
“Pak, kira-kira kereta di stasiun Sudirman normal enggak?’ tanya Bu Tuti ke salah seorang petugas penjaga tiket bus.
“Belum, Bu. Listriknya masih mati. Kabarnya baru normal jam 6 sore,” jelas petugas.
Bu Tuti termangu. Ia melihat jam tangan yang menunjukkan jam 2 lewat 10. Dan itu berarti, ia harus menunggu sekitar 4 jam. Itu pun baru perkiraan, bagaimana jika listrik baru normal malam, atau mungkin besok pagi.
Parahnya lagi, jaringan telepon seluler milik Bu Tuti hilang sinyal, alias tidak aktif. Mungkin, imbas dari listrik padam itu. Ia tidak bisa mengabarkan keadaannya kepada keluarga di Depok, begitu pun sebaliknya, keluarga Bu Tuti tidak bisa mengkonfirmasi keadaan Bu Tuti. Dan dari jaringan telepon yang mati itu pula, Bu Tuti sama sekali tidak bisa mengakses transportasi online, baik ojek maupun taksi.
Jadi, kalau tidak mau menunggu 4 jam, harus naik kendaraan apa menuju Depok? Kereta tak bergerak, kendaraan online tak bisa diakses, dan bus Transjakarta padatnya minta ampun.
“Aha, kenapa tidak naik taksi biasa?” itulah ide yang tiba-tiba muncul di benak Bu Tuti.
Tapi, Bu Tuti kan tidak membawa uang tunai banyak. Hanya 50 ribu, itu pun sudah berkurang untuk membayar ojek online tadi.
Bu Tuti memeriksa isi dompet yang ia bawa. Mungkin saja ada uang tunai yang terselip. Tapi, ternyata memang tidak ada.
Dalam pencarian isi dompet itu, ia mendapati sebuah kartu ATM. “Oh iya, uangku kan masih ada di ATM, mungkin cukup buat naik taksi ke Depok,” ujar Bu Tuti dalam hati.
Ibu yang sudah sangat kelelahan ini pun mencari ATM terdekat di kawasan Jalan Jenderal Sudirman. Ia berjalan dari ATM ke ATM lain untuk mencari ATM yang tidak menjadi korban listrik mati, alias masih berfungsi normal.
Setelah uang 300 ribu ia peroleh dari ATM, Bu Tuti pun berdiri di tepian Jalan Jenderal Sudirman untuk menunggu taksi lewat di tengah kepadatan kendaraan.
Pemandangan lain pun didapati Bu Tuti. Tidak seperti biasanya, semua taksi yang lewat selalu terisi penumpang. Padahal, ia sudah berdiri lebih dari setengah jam.
“Ya Allah, kok, Depok jadi jauh amat sih?” ucap Bu Tuti.
Syukurnya, ada taksi yang kosong. “Depok ya, Pak,” ujar Bu Tuti kepada sopir taksi.
Sang sopir agak ragu mendengar kata Depok. Karena selain jaraknya yang lumayan jauh, lalu lintasnya tergolong macet. Terlebih di saat tidak normal seperti saat itu, di mana mungkin banyak lampu merah yang tidak berfungsi.
Di dalam taksi, Bu Tuti ditawarkan sang sopir untuk memilih jalur, apakah lewat jalan biasa atau tol. Tapi, masih menurut Pak Sopir, kalau lewat tol ia tidak bisa menggunakan kartu banknya karena tidak bisa diisi. Lagi-lagi karena alasan listrik mati.
Bu Tuti agak bingung. Kalau lewat jalur biasa, ia yakin akan macet total. Tapi jika lewat tol, terpaksa ia harus membayarkan tiket tol dengan kartu banknya.
“Pake kartu bank saya aja, Pak. Jadi, kita lewat tol,” ucap Bu Tuti saat tak lama lagi akan memasuki pintu tol Semanggi.
Awalnya, perjalanan lancar, seperti layaknya berkendaraan di jalan tol: lancar dan nyaman. Tapi, ketika sudah berada di jalur tol Jagorawi, suasana sangat berbeda. Kendaraan ke arah selatan begitu padat, bahkan sangat padat. Terutama di jalur mendekati pintu tol Cibubur.
Rupanya di pintu tol inilah penyebabnya. Entah kenapa, kendaraan yang keluar melalui pintu tol ini nyaris tak bergerak dan berimbas kepada kendaraan lain di jalur tol.
Setelah pintu tol Cibubur, laju kendaraan kembali lancar. Tapi ketika keluar melalui pintu tol Depok menuju Cijago, kendaraan kembali padat merayap. Pasalnya, tol menuju Margonda belum dibuka. Semua kendaraan yang melalui tol itu harus keluar di Cijago.
Kemacetan begitu menjadi karena ujung pintu tol Cijago terhambat oleh lampu merah perempatan jalan Raya Bogor.
Begitulah kemacetan demi kemacetan menyentak urat stress Bu Tuti. Belum lagi ketika melihat argo taksi yang sudah mendekati angka 200 ribuan.
“Ya Allah, kok perjalanan jadi melelahkan dan merugikan seperti ini? Hampir empat jam di dalam taksi. Siapa yang salah urus, malah jadi rakyat yang menanggung akibatnya,” ujar Bu Tuti seperti yang dituturkan kepada ChanelMuslim. (Mh)