ChanelMuslim.com- Konstituen sebuah partai atau tokoh kerap kecewa ketika langkah partai atau tokoh tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Mereka menyatakan ke kanan, tapi kenyataannya melangkah ke kiri.
Ada banyak hal yang memang harus dipelajari lebih dalam tentang dunia politik. Terutama politik praktis yang ingin menggapai kekuasaan.
Politik praktis seperti yang kita amati saat ini sangat berbeda dengan politik dalam arti luas. Karena sejatinya, politik adalah upaya untuk memberikan maslahat untuk orang banyak. Bukan kelompok, apalagi diri sendiri.
Dengan bahasa sederhana, seorang aktivis yang mengorbankan waktu dan tenaganya untuk secara suka rela memberikan kebaikan untuk orang banyak adalah seorang politisi. Walaupun, orang tidak menyebutnya sebagai politikus.
Sebutan politisi atau politikus saat ini lebih tertuju pada aktivis politik praktis yang selalu menjurus pada merebut kekuasaan, tentu dengan jalan yang sesuai aturan.
Dalam dunia politik seperti ini, berlaku sebuah “kesepakatan”, “Tidak ada musuh abadi. Tidak ada teman abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.”
Dengan kata lain, para politisi ini berteman dan bermusuhan bukan karena idealisme atau keyakinan yang mereka miliki, seperti idealisme atau keyakinan dalam agama. Melainkan, semata-mata karena kepentingan.
Ketika kepentingannya berbeda, mereka seperti bermusuhan. Tapi ketika kepentingan tersebut menyatu maka permusuhan tersebut sirna, dan berganti menjadi persahabatan.
Persis seperti anak kecil yang bisa bergonta ganti teman dan musuh dalam tempo singkat. Bukan karena senang atau tidak senang, tapi karena kepentingan.
Repotnya, ketika politik praktis bersinggungan dengan kepentingan besar seperti agama. Maka, gap atau jarak persepsi menjadi begitu kentara.
Hal ini karena konstituen salah menerjemahkan sikap para politisi yang mereka dukung dan bela. Mereka mengira sosok politisi tersebut adalah pemimpin yang ideal, tapi ternyata hanya sekadar seorang politisi yang bisa berubah drastis sesuai kepentingan yang dituju.
Partai, calon gubernur, calon presiden, dan seterusnya tak lebih dari seorang politisi yang sedang berjuang untuk merebut kekuasaan. Mereka akan menggunakan berbagai cara, selama masih sah, untuk sukses dalam perebutan itu.
Namun, tetap saja, titik utama dari dinamika dan warna warni perebutan itu adalah kekuasaan atau kepentingan. Ketika kepentingan telah mereka dapatkan, dinamika tersebut akan berhenti atau berubah sesuai kepentingan tersebut.
Jadi, seorang konstituen harus pandai-pandai membaca arah kepentingan yang dituju para politisi. Apakah memang sama atau sesuai dengan kepentingan yang kita inginkan, atau hanya imajinasi kita saja terhipnotis dengan kesamaan kepentingan tersebut.
Dalam politik praktis, tidak ada surga neraka. Tidak ada baik dan buruk. Bahkan tidak ada benar dan salah. Yang ada hanya kepentingan semata.
Dengan begitu, sepak terjang politisi dalam hal ini harus dimaknai sebagai kamuflase untuk meraih kepentingan. Bisa jadi, apa yang diucapkan berbeda dengan yang dikerjakan. Ucapan yang baru beberapa menit yang lalu bisa berubah drastis dengan ucapan berikutnya.
Kalau ada “kesepakatan” dalam dunia politik praktis yang selalu tertuju pada kepentingan. Maka, konstituen pun mestinya, dan memang seperti itu harusnya, ada “kesepakatan” yang harus dialamatkan kepada para politisi.
Yaitu, siapa pun para politisi, jangan pernah percaya seratus persen ucapan mereka. (mh)