Oleh: Kak Eka Wardhana (Rumah Pensil Publisher)
ChanelMuslim.com-Sewaktu muda, saya pernah dengar ada seorang bapak yang memanggil anaknya untuk bersama-sama menonton film seri tentang para penjaga pantai berpakaian seksi. Sekarang saya banyak melihat orangtua membiarkan anak-anaknya yang masih di bawah umur mengendarai sepeda motor sendiri ke sekolah. Sementara lebih banyak lagi orangtua memberi anak smartphone tanpa memberi arahan dan mengontrol konten apa saja yang bisa dibuka anak dengan internet.
Aduh, kenapa begini ya? Saya rasa sih penyebabnya bukan karena orangtua tidak peduli lagi pada anaknya. Bahkan saking pedulinya diizinkannya sang anak naik sepeda motor dan diberikannya mereka smartphone dengan fitur terkini. Bukan, saya rasa bukan karena kurang peduli, tetapi lebih mungkin karena orangtua belum dewasa sebagai orangtua.
Apa tandanya orangtua belum dewasa sebagai orangtua? Tandanya adalah orangtua menganggap anaknya telah dewasa, padahal belum.
Memangnya bisa kita menganggap anak sudah dewasa sementara ukuran tubuh anak saja masih dalam perkembangan? Bisa, tanpa sadar tentunya. Mata kita memang melihat anak masih berukuran kecil, tetapi hati kita tidak melihat itu. Hati kita melihat anak sudah lebih dewasa dari seharusnya. Contohnya?
Contohnya: selain memberi fasilitas yang belum saatnya diberikan (seperti sepeda motor atau smartphone), orangtua juga membiarkan anak masuk ke lingkungan tanpa mau ikut mengontrol. Orangtua membiarkan anak bebas memilih teman, orangtua membiarkan anak remajanya bebas pulang jam berapa saja, orangtua tak mau tahu apa saja yang dilakukan anak di luar rumah, dan lainnya.
Pada tahun 1939, Skeels dan Dye melakukan sebuah studi. Mereka mengambil sebagian anak-anak penderita mental terbelakang dari sebuah panti asuhan dan menempatkannya ke sebuah lembaga perawatan. Anak-anak ini berusia rata-rata 2 tahun dan dianggap tak layak untuk diadopsi. Di lembaga perawatan ini setiap anak penderita mental terbelakang itu diasuh oleh seorang anak perempuan yang usianya lebih tua dan lebih normal mentalnya.
Para kakak angkat ini bertindak sebagai ibu pengganti. Mereka mengajak adik-adik angkatnya bermain, berbicara dan melatih berbagai keterampilan. Selain itu, lembaga perawatan ini dilengkapi dengan tempat yang sangat luas dan banyak mainan. Hasilnya? 4 tahun kemudian angka IQ rata-rata mereka lebih tinggi 21 angka dibanding anak-anak yang tetap berada di panti asuhan (yang tidak mendapat kakak angkat, tempat yang luas dan mainan yang memadai).
Tidak berhenti sampai di situ, 20 tahun kemudian, anak-anak penderita terbelakang mental yang diasuh dengan baik ini berhasil menamatkan sekolah menengah, bahkan sepertiganya berhasil melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka juga mandiri, menikah dan mempunyai anak-anak yang normal.
Sementara anak-anak penderita mental terbelakang yang tetap berada di panti asuhan, sebagian besar hanya mampu bersekolah maksimal sampai kelas 3 SD. Mereka tetap hidup di panti asuhan selamanya dan tidak mampu mandiri.
Studi Skeels dan Dye ini memberi bukti luar biasa bahwa anak-anak yang diasuh dengan baik oleh lingkungan yang tepat akan menjadi orang dewasa yang mandiri dan sukses. Bila anak-anak dengan mental terbelakang saja bisa, apalagi anak-anak dengan mental yang normal, bukan?
Jadi, bila melihat para pemuda dan pemudi dengan usia menginjak dewasa awal belum mandiri, salah bergaul sehingga tercemplung obat-obat terlarang, terlalu bergantung pada orang lain dan tidak menunjukkan sikap dewasa, kita bisa duga ada yang salah dengan pola asuhnya di waktu kecil.
Salah satu sebabnya karena orangtua tidak mendidik mereka selayaknya anak-anak, tetapi terlalu cepat memperlakukan mereka sebagai orang dewasa. Orangtua berhenti terlalu dini dalam mendidik anak dan membiarkan anak-anak berkembang sendiri. Dengan kata lain, orangtua belum dewasa sebagai orangtua. Ingat mereka tetaplah anak-anak, jangan diperlakukan sebagai orang dewasa mini.
Salam Smart Parents!
[ind]