PERAYAAN Hari Ibu sering diperingati di berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi terhadap peran seorang ibu dalam keluarga dan masyarakat.
Namun, di tengah tradisi tersebut, muncul beragam pandangan mengenai asal-usul perayaan Hari Ibu serta bagaimana hukumnya jika ditinjau dari perspektif agama.
Perbedaan latar belakang sejarah dan pemaknaan terhadap perayaan ini menjadikan pembahasannya menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama untuk memahami apakah peringatan Hari Ibu sekadar tradisi sosial atau memiliki implikasi tertentu dalam ajaran Islam.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan bahwa Hari Ibu jika itu disebut dan dianggap perayaan (yaumul ‘iid) keagamaan, memang itu terlarang.
Itu sama juga memasukkan ke dalam Islam, apa-apa yang bukan dari Islam. Inilah tasyabbuh bil kuffar.
Tapi jika Hari Ibu tidak pernah dianggap sebagai hari raya, hanya sebagai pengambilan momen khusus untuk menapaktilasi perjuangan seorang ibu, kebaikannya, jasanya, dan lain-lain, maka ini tidak beda dengan hari-hari besar nasional, bukan hari raya keagamaan.
Hukum Perayaan Hari Ibu dalam Islam
Seperti hari pahlawan, hari kebangkitan nasional, hari guru, hari santri, hari anti korupsi, bahkan di tanah air ada yang unik “hari jamban”.
Sampai saat ini, belum pernah ada yang menganggap hari ibu adalah hari raya keagamaan.
Ada pula waktu “matikan TV” dicanangkan pemerintah, dari jam 18 sd 21, agar siswa dapat belajar. Padahal belajar itu disepanjang waktu.
Di kampus-kampus yang mempelajari bahasa asing, biasanya kebijakan jurusan ada mencanangkan hari tertentu untuk khusus berbicara dengan bahasa asing tersebut, mahasiswa wajib menggunakan bahasa itu, tapi tidak wajib pada hari lainnya. Ini pemanfaatan momen saja.
Baca juga: Memaknai Hari Ibu: Menjadi Ibu Sepanjang Waktu
Benar bahwa mencintai ibu mesti tidak hanya dihari ibu, sebagaimana anti korupsi pun tidak pada hari anti korupsi saja. Tapi sepanjang waktu.
Namun demikian, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memilih hari khusus untuk mengajar para sahabatnya, tidak pada hari lainnya, padahal belajar mengajar tidak hanya pada hari khusus itu, tapi sepanjang waktu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam rutin tiap hari Sabtu untuk mengunjungi Masjid Quba, baik dengan jalan atau berkendaraan.
Ibnu Umar mengikuti tradisi ini. Ini riwayat Imam Bukhari. Padahal bagi laki-laki muslim berjalan ke masjid bukan hanya di hari Sabtu.[Sdz]





