IBU memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia bisa membesarkan anaknya sendiri. Dan hal ini berbeda dengan ayah.
Pada tahun Rabiul Awal 164 hijriyah atau sekitar November 780 masehi, lahir seorang ulama besar yang hingga kini namanya terus berkibar. Ia bernama Ahmad bin Hanbal.
Ada dua pendapat tentang tempat kelahirannya. Ada yang berpendapat di Bagdad, ada pula di wilayah Turkministan.
Yang jelas, masa kecil Imam Ahmad berada di Bagdad. Pada usia tiga tahun, ia sudah menjadi anak yatim.
Ayahnya seorang tentara kekhalifahan Abasiyah dan wafat pada usia tiga puluh tahun di wilayah Khurasan, Iran saat ini.
Sejak itulah, Imam Ahmad dibesarkan dan dididik oleh ibunya sendiri: Safiyah binti Maymunah Al-Syaibani. Seorang wanita yang begitu tegar, gigih, dan mandiri.
Sejak kematian suaminya, ia tidak kawin lagi. Ia seperti mewakafkan dirinya untuk putranya: Imam Ahmad bin Hanbal. Ia sendiri yang mendidik Imam Ahmad dengan ilmu Al-Qur’an sejak usia dini, dan menjadikan putranya hafal Qur’an pada usia 10 tahun.
Di usia 10 tahun, Imam Ahmad diantar langsung oleh ibunya untuk berguru ke para ulama di Bagdad. Rumahnya mengikuti tempat masjid di mana anaknya berguru.
Pada usia 10 tahun itu, ibunya kerap membangunkan Imam Ahmad jauh sebelum waktu Subuh untuk melatihnya shalat malam. Dan di saat Subuh, ia mengajak putranya shalat Subuh di masjid. Setiap kali ke masjid bersama putranya itu, Safiyah mengenakan cadar.
Ibunya bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan anaknya. Dan di saat kecil pun, Imam Ahmad sudah ikut membantu ibunya bekerja.
Selama kurang lebih 5 tahun, Imam Ahmad belajar dengan seorang ulama di Bagdad bernama Husyam bin Bashir.
Ketika usia 15 tahun, ibunya mempersiapkan Imam Ahmad untuk merantau mencari ilmu. Imam Ahmad pun pergi menuju Hijaz: Mekah dan Madinah, Shan’a, dan lainnya untuk menuntut ilmu.
Di Hijaz, Imam Ahmad belajar dengan Imam Syafi’i, Tidak kurang ada 280 guru Imam Ahmad bin Hanbal. Kehidupannya selama kurang lebih 40 tahun adalah belajar dan belajar. Sekitar satu juta hadis yang dihafal Imam Ahmad.
Imam Ahmad pernah mengenang seperti apa kegigihan ibunya, “Ia membangunkan setiap hari sebelum Subuh. Ia memasakkan aku air panas untuk mandiku di pagi yang dingin di Bagdad. Ia mengajarkanku Al-Qur’an, melatihku shalat, dan menyiapkanku untuk merantau mencari ilmu.”
Setelah puluhan tahun merantau, Imam Ahmad baru kembali ke Bagdad. Ia menikah di usia 40 tahun. Sebuah waktu pernikahan yang tergolong telat. Hal itu ia lakukan untuk memenuhi amanah ibunya: menuntut ilmu.
Sebelum merantau di usia 15 tahun, ibunya berpesan, “Aku titipkan dirimu kepada Allah subhanahu wata’ala.”
**
Sering kita menemukan jejak sejarah para ulama yang dididik dan dibesarkan oleh ibunya seorang diri: Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Bukhari, dan lainnya. Tapi, jarang kita menemukan dilakukan oleh ayahnya seorang diri.
Kita pun mungkin bisa menyimpulkan bahwa ibu jauh lebih kuat, lebih gigih, lebih sabar dalam hal mendidik anak daripada sang ayah. Inilah mungkin makna dari ungkapan hikmah orang Arab bahwa ibu adalah sekolah yang pertama dan utama.
Duhai para ibu, jangan pernah menyerah untuk terus gigih mendidik putra-putrinya. Seberapa pun modal yang kita punya. [Mh]





