MEMILIH pemimpin bukan hal mudah. Terlebih ketika sebagai pemimpin orang banyak.
Ada hal menarik dari sosok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu. Bukan tentang dermawannya. Bukan tentang jago bisnisnya. Tapi begitu bijak sebagai panitia pemilihan pemimpin.
Di masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, sosok Abdurrahman bin Auf kerap menjadi rujukan beliau. Hal ini karena Umar paham betul tentang siapa sebenarnya Abdurrahman bin Auf, lebih dari sekadar sahabat Nabi yang dermawan dan pebisnis.
Setidaknya, ada dua kali Khalifah Umar meminta fatwa dari Abdurrahman bin Auf. Pertama tentang sikap terhadap wabah di suatu wilayah. Ketika itu, Abdurrahman bin Auf menjelaskan bahwa ia pernah mendengar perkataan Nabi bahwa jika terjadi wabah, orang yang di dalam wilayah tak boleh keluar dan orang yang masih di luar tak boleh masuk kedalam.
Jawaban ini sangat dibutuhkan Khalifah Umar saat terjadi wabah besar di negeri Syam. Ribuan orang meninggal dunia karena wabah itu.
Fatwa kedua adalah tentang jizyah atau pajak yang diterapkan terhadap kaum majusi. Apakah boleh? Setelah Umar meminta pendapat Abdurrahman bin Auf, akhirnya didapat bahwa Nabi pernah menerima jizyah dari orang majusi.
Inilah Abdurrahman bin Auf. Beliaulah satu-satunya sahabat yang pernah mengimami shalat di mana salah satu makmumnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ada semacam fatwa ketiga yang dimintakan tolong Khalifah Umar kepada Abdurrahman bin Auf. Tapi, fatwa ini diminta tidak secara langsung. Umar sepertinya berharap kalau Abdurrahman bin Auf akan bertindak bijaksana.
Yaitu, ketika Khalifah Umar sedang dalam keadaan kritis selepas terluka karena serangan dari musuh Islam saat Umar sedang mengimami shalat.
Umar meminta putranya: Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk mengundang enam orang sahabat senior. Mereka adalah Saad bin Abi Waqash, Zubair bin Awam, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdurrahman bin Auf.
Abdullah bin Umar diikutsertakan tapi tidak punya hak untuk dipilih dan memilih. Ia hanya menjadi saksi.
Bagaimana cara memilih khalifah pengganti Umar dari enam orang sahabat senior itu? Hal inilah yang menarik yang dilakukan Abdurrahman bin Auf.
Sebelumnya, Abdurrahman bin Auf menyampaikan wasiat dari Khalifah Umar sebelum wafat. Yaitu, ia minta dimakamkan berdampingan dengan dua sahabat tercintanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar ash-Shiddiq.
Abdurrahman bin Auf sendiri yang menyampaikan hal itu secara khusus kepada Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hal ini karena pemakamannya berada di rumah yang ditinggali Aisyah.
Kemudian berlanjut ke pemilihan. Abdurrahman meminta tiga orang dari enam sahabat senior yang dicalonkan Umar untuk memilih satu orang calon dari mereka sebagai sosok yang layak menjadi khalifah. Maka, Zubair mengatakan bahwa haknya diberikan ke Ali. Thalhah mengatakan bahwa haknya diberikan ke Usman, dan Saad mengatakan bahwa haknya diberikan ke Abdurrahman bin Auf.
Dengan kata lain, yang berhak dipilih sebagai khalifah tinggal tiga orang dari enam orang. Tiga orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Abdurrahman mengatakan lagi kalau haknya akan diberikan kepada dua orang itu: Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Tapi dengan catatan. Apa itu?
Abdurrahman memegang tangan Usman dan mengatakan, kalau aku pilih Ali, apakah engkau akan menerima? Usman menjawab: iya. Selanjutnya, Abdurrahman memegang tangan Ali dan mengatakan, kalau aku memilih Usman, apakah engkau akan menerima? Ali menjawab: iya.
Setelah itu, Abdurrahman mengumumkan bahwa ia memilih Usman bin Affan. Dan pilihan itu terikat dan diterima oleh kaum muslimin saat itu.
Sebenarnya, ada seorang sahabat yang hadir di situ berharap kalau Abdurrahman bin Auflah yang terpilih sebagai khalifah.
Ketika bisik-bisik itu sampai ke telinga Abdurrahman bin Auf, ia memanggil orang yang mengatakan hal itu. Di depan orang itu, Abdurrahman bin Auf mengatakan, “Sekiranya belati dihunuskan ke leher aku, kemudian belati itu membunuhku, maka hal itu lebih aku sukai daripada yang engkau harapkan terhadapku (terpilih sebagai khalifah).
**
Bijaksana dalam melakukan pemilihan calon pemimpin itu berat. Terlebih ketika para calonnya bisa dibilang semuanya layak. Dan lebih berat lagi ketika ia sendiri berhak untuk dipilih.
Inilah momen di mana kepentingan orang banyak menjadi begitu tipis dengan kepentingan pribadi dan kelompok. Bergeser sedikit saja niat dan kepentingan, akibatnya bisa fatal.
Bijaksanalah dalam memilih pemimpin. Karena di pundaknya terdapat harapan atau kekecewaan orang banyak. [Mh]


