REZEKI yang halal itu berkah. Ada keridhaan Allah di situ, dan kebaikan yang berlimpah.
Para ulama sangat berhati-hati dengan rezeki. Baik rezeki yang ia dapatkan langsung maupun yang tidak.
Suatu kali Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menggadaikan sebuah timba miliknya ke tukang sayur di Mekah.
Timba merupakan alat yang umum digunakan para peziarah di Masjidil Haram untuk mengambil air Zamzam. Saat itu, alatnya memang masih sangat sederhana. Berbeda dengan saat ini yang sudah tersedia langsung melalui keran.
Setelah punya uang cukup, Imam Ahmad pergi ke Mekah untuk menebus timbanya. Ia pun membayarkan utangnya ke si tukang sayur.
Tapi, di luar dugaan Imam Ahmad, ia dipersilakan untuk memilih di antara dua timba yang ada.
“Silakan pilih saja di antara dua timba itu,” ucap si tukang sayur.
Imam Ahmad bingung untuk menentukan mana di antara dua timba itu yang memang miliknya.
“Mohon pilihkan di antara dua timba itu untuk saya!” ucap Imam Ahmad untuk membiarkan si tukang sayur sendiri yang memilihkan.
Imam Ahmad khawatir kalau timba yang ia pilih bukan miliknya.
**
Masih tentang timba untuk mengambil air Zamzam di Mekah. Seorang ulama bernama Ibrahim bin Adham rahimahullah sama sekali tidak meminum air Zamzam.
Seseorang bertanya, “Kenapa Anda tidak meminum air Zamzam yang sudah disediakan?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Sekiranya aku tahu siapa pemilik timba dari air Zamzam ini.”
Beliau sangat berhati-hati dengan air Zamzam yang akan masuk ke tubuhnya. Karena itu, ia ingin memastikan segala hal yang menghalalkannya.
**
Kehati-hatian terhadap kehalalan sesuatu menjadi hal yang terpuji. Baik kehalalan tentang zatnya maupun cara mendapatkannya.
Rezeki itu bukan sekadar dapat atau tidak, banyak atau sedikit, mudah atau sulit; melainkan karena mencari keridhaan Allah subhanahu wata’ala.
Kalau Allah ridha, meskipun sedikit dan sulit; kebaikannya akan terus berlimpah. [Mh]