WANITA bisa lebih militan dari pria. Meskipun, fisiknya lebih lemah dari pria. Hal ini karena mentalitasnya yang kuat.
Ada seorang muslimah di masa awal dakwah Rasulullah yang begitu militan dan agresif dalam dakwah. Namanya, Ummu Syuraik radhiyallahu ‘anha. Ia berasal dari suku Ghatafan yang disegani di Mekah.
Suaminya bernama Abul Akr Ad-Dausi. Baik Ummu Syuraik maupun suaminya memang berasal dari satu suku di wilayah Ad-Dausi, sebuah wilayah di selatan Mekah yang sudah masuk wilayah Yaman.
Bisa dibilang, kehidupan Ummu Syuraik lebih banyak di Mekah saat awal dakwah Islam. Ia secara diam-diam mampu menembus rumah-rumah tokoh Quraisy melalui pendekatan ke wanita-wanita mereka.
Ada seorang pria Quraisy yang memarahi adiknya karena masuk Islam. Kemudian, ada orang lain yang membocorkan informasi kalau istrinya juga sudah masuk Islam.
“Ini ulah siapa?” tanya lelaki itu. Selidik punya selidik, ternyata itu adalah ‘kreasi’ dari Ummu Syuraik.
Akhirnya, mereka menangkap Ummu Syuraik. “Kalau bukan karena menghormati sukumu, kami sudah menyiksamu saat ini juga!” ucap mereka.
Mereka pun membawa Ummu Syuraik ke sukunya. Dan ternyata, sukunya memang menolak Islam. Ia pun disiksa dengan cara yang berbeda.
Ummu Syuraik diletakkan di atas unta tanpa pelana. Unta itu dibawa oleh tiga orang suku Ghatafan ke suatu tempat yang teriknya luar biasa. Selama tiga hari tiga malam. Selama itu, Ummu Syuraik tak diberikan minum dan makan.
Di saat keadaan seperti itulah, tiga lelaki itu menyarankan agar Ummu Syuraik kembali ke agama nenek moyang. Tapi, hal itu ditolaknya dengan sebuah isyarat: jari telunjuknya menunjuk ke arah langit.
Di saat istirahat, tiga lelaki itu ketiduran. Ummu Syuraik merasakan rasa dingin di badannya. Ia terkejut. Dalam sekaratnya, ia melihat ada wadah air yang melekat di tubuhnya.
Ia pun minum sepuasnya, bahkan membasahi wajah dan tubuhnya karena rasa panas luar biasa.
Di saat yang bersamaan, tiga lelaki yang menjaganya terbangun. Mereka kaget karena Ummu Syuraik memperoleh air. Dari mana?
“Apa kamu mencuri persediaan air kami?” tanya mereka.
Ummu Syuraik menolak. Dan, mereka pun kembali ke tenda mereka. Benar saja, persediaan air mereka masih terisi penuh.
“Dari mana air itu?” tanya mereka ke Ummu Syuraik.
“Dari Allah!” jawabnya dengan tegas.
Jawaban itu membuat mereka goyah, bingung, dan takut. Saat itulah, Ummu Syuraik menasihatinya tentang keagungan Allah subhanahu wata’ala.
Di luar dugaan, tiga lelaki itu akhirnya masuk Islam. Mereka pun melepas Ummu Syuraik.
Bagi Ummu Syuraik, tak ada tempat lain yang bisa ia tuju kecuali Madinah. Hal itu karena Rasulullah dan umat Islam sudah hijrah kesana, sementara suaminya juga sudah hijrah bersama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berasal dari suku yang sama.
Namun, ia merasa perlu ada teman untuk menempuh perjalanan sejauh itu. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ada seorang Yahudi dan istrinya yang akan pulang ke Madinah.
Yahudi itu memberikan kesan yang baik kepada Ummu Syuraik. Bahkan ketika Ummu Syuraik akan mencari persediaan air selama di perjalanan, Yahudi itu melarangnya. “Kami membawa persediaan air yang cukup!” seperti itu kira-kira ucapannya.
Mereka pun berangkat menuju Madinah. Gelagat buruk si Yahudi baru terlihat ketika Ummu Syuraik merasa butuh dengan air. Ia merasakan haus yang luar biasa.
“Kalau kamu mau air, kamu harus masuk agama Yahudi seperti kami,” ucap si Yahudi kepada Ummu Syuraik.
Ummu Syuraik pun menolak dengan tegas. Karena itu, si Yahudi meninggalkan Ummu Syuraik sendirian dalam keadaan lemah.
Saat itulah, pertolongan Allah kembali datang. Lagi-lagi, ada wadah air yang ‘turun dari langit’ untuk Ummu Syuraik. Kali ini bukan sekadar air. Warnanya putih seperti susu dan rasanya begitu manis seperti madu.
Ummu Syuraik bisa minum sepuasnya. Dari kesegaran itulah, ia akhirnya bisa menempuh perjalanan sangat jauh hingga tiba di Madinah.
Di Madinah, ia bisa bertemu dengan Rasulullah dan ahlul bait. Sayangnya, suaminya dikabarkan sudah meninggal dunia.
Namun begitu, Ummu Syuraik tetap Ummu Syuraik yang dulu. Ia begitu mandiri, lincah, dan cekatan. Tidak begitu lama, ia sudah memiliki kehidupan yang mapan di Madinah dari hasil kerja kerasnya.
Rumahnya yang megah kerap dijadikan kaum muslimin yang datang ke Madinah sebagai ‘guest house’. Mereka umumnya menginap sementara karena ada keperluan bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
**
Allah subhanahu wata’ala tidak membedakan mutu iman dan amal pria dan wanita. Keduanya berkedudukan sama di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Karena itu, jangan merasa minder, merasa lemah, merasa tak mampu; ketika Anda sebagai muslimah. Seorang muslimah pun bisa lebih ‘kuat’ dan mapan dalam dakwah. [Mh]





