PANGGILAN atau gelar Haji di Indonesia, baik Pak Haji maupun Bu Hajjah, rasa-rasanya wajib kita gunakan untuk menyapa orang yang kembali dari berhaji.
Ternyata, panggilan tersebut sudah berlangsung berabad-abad di banyak negeri muslim. Mereka tidak ada yang mengingkari satu sama lain.
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan mengenai hal ini.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu:
ما رأى المسلمون حسنا فعند الله حسن
Apa yang dilihat baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah juga baik. (HR. Al Hakim, shahih mauquf dari Ibnu Mas’ud)
Maka, penggelaran dan panggilan Haji bagi mereka yang aman hatinya, tidak bermaksud riya’, boleh saja, tidak ada ayat Alquran dan As Sunnah melarangnya.
Dan Hujjah itu adalah Alquran dan As Sunnah. Ada pun yang terlarang adalah bagi mereka yang memang bermaksud riya’ atas panggilan itu.
Kita simak penjelasan Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:
فتلقيب الإنسان بما يحب مستحب شرعاً، أما بما يكره فمعصية، قال النووي رحمه الله تعالى في المجموع: اتفق العلماء على تحريم تلقيب الإنسان بما يكره سواء كان صفة له أو لأبيه أو لأمه، واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا يعرفه
إلا بذلك، واتفقوا على استحباب اللقب الذي يحبه صاحبه، فمن ذلك أبو بكر الصديق اسمه عبد الله بن عثمان ولقبه عتيق، ومن ذلك أبو تراب لقب لعلي بن أبي طالب. انتهى.
ومن هذا يتبين جواز تلقيب من حج بالحاج إذا لم يخش منه عجب أو رياء.
Pemberian panggilan gelar kepada manusia dengan apa yang disukainya adalah MUSTAHAB (Sunnah) menurut syariat, adapun gelar dengan yang dibencinya adalah Maksiat.
Baca Juga: Tanggapan AMPHURI tentang Pembatasan Kuota dan Usia Jamaah Haji Indonesia
Menyoal Panggilan Pak Haji dan Bu Hajjah
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan dalam Al Majmuu’:
“Mereka (para ulama) sepakat bahwa haramnya menggelari manusia dengan apa yang dibencinya, sama saja apakah sifat itu ada pada dirinya, ayahnya, atau ibunya.”
Mereka juga sepakat BOLEH-nya menggelari dengan tujuan agar dikenali dirinya dengan itu.
Mereka juga sepakat istihbab (sunah) menggelari dengan gelar yang disukai oleh pemiliknya.
Misalnya: Abu Bakar As Shiddiq, nama aslinya Abdullah bin Utsman, digelari ‘atiiq. Begitu pula Ali bin Abi Thalib, digelari Abu Thurab.
Dari sini, jelaslah kebolehan gelar haji bagi jamaah haji, selama aman dari ‘ujub dan riya’. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah)
Maka, pada prinsipnya tidak masalah. Terpenting adalah bagaimana menjaga perilakunya setelah menyandang gelar haji, jangan sampai gelar atau panggilan itu hanyalah panggilan kosong tanpa makna.
Wallahu a’lam. Sahabat Muslim, itulah panggilan atau gelar haji dalam Islam. Bagaimana menurut kamu?[ind/alfahmu]