ISLAM dan sebuah tradisi.
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
أنَّها زَفَّتِ امْرَأَةً إلى رَجُلٍ مِنَ الأنْصارِ، فقالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: يا عائِشَةُ، ما كانَ معكُمْ لَهْوٌ؟ فإنَّ الأنْصارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ.
Bahwa dia (Aisyah) menyerahkan seorang wanita untuk nikah dengan laki-laki Anshar (Madinah), maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai Aisyah, kenapa tidak ada hiburan? Karena orang-orang Anshar itu suka hiburan.” (HR. Bukhari no. 5162).
Dalam kisah ini terjadi pernikahan antara wanita muhajirin dengan laki-laki Anshar (Madinah).
Hadits ini menunjukkan pengetahuan dan rasa hormat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selaku tamu (orang Mekkah) terhadap tradisi orang Madinah yaitu adanya al Lahwu: (hiburan) di saat pesta pernikahan.
Dalam Islam, tradisi yang bukan berasal dari Islam tidaklah lantas dilenyapkan, tapi justru dijaga dan dirawat jika sejalan dengan Islam.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Inilah yang oleh para ulama diistilahkan dengan al ‘Urf ash Shahih (tradisi yang benar).
Para ulama mengatakan:
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Ketetapan hukum karena tradisi itu seperti ketetapan hukum dengan Nash/dalil. (Syaikh Muhammad ‘Amin Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa’id Al Fiqhiyah, no. 101).
Ada pun tradisi yang rusak, tidak sejalan dengan Islam, maka Islam menghapusnya dengan hikmah dan diganti dengan alternatif yang lebih baik.
Inilah yang diistilahkan para ulama dengan al’ Urf al Fasad (tradisi yang rusak).
Seperti, tradisi Arab jahiliyah melumuri darah hewan ke kepala bayi yang baru lahir, diganti dengan tradisi aqiqah.
Tradisi bersenang-senang orang Madinah di dua hari raya mereka: Nairuz dan Mihrajan, diganti dengan bersenang-senang di Idul Fithri dan Idul Adha.
Islam dan Tradisi
Baca juga: Kemampuan Diplomasi Dalam Islam
Imam Al Qarafi Rahimahullah memberikan nasihat kepada para ulama dan Mufti agar memperhatikan tradisi atau kebiasaan manusia di daerah tempatnya hidup, jangan hanya terpaku pada apa yang tertulis dalam kitab, agar pandangan dan fatwa mereka benar-benar kuat dan hidup. Beliau berkata:
فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين “
Bagaimanapun yang baru dari sebuah tradisi perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu. Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu. (Al Furuq, 1/176-177).[Sdz]