JANJI itu seperti utang. Jika tak ditepati, utangnya belum terlunasi.
Sebelum diangkat Allah subhanahu wata’ala menjadi Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam muda sudah dikenal orang sebagai al-amin. Yaitu, orang yang terpercaya. Mulai dari ucapannya, kesaksiannya, termasuk janjinya.
Ada kisah yang menyebutkan tentang seorang bernama Abdullah bin Abdul Hamzah di masa Nabi masih muda. Abdullah membeli sebuah barang kepada Nabi. Tapi, uang kembaliannya belum ada.
Akhirnya, keduanya bersepakat untuk bertemu agar Nabi bisa membayarkan uang kembaliannya. Disepakatilah waktu dan tempatnya.
Namun, Abdullah lupa dengan kesepakatan itu. Ia baru ingat di hari ketiganya.
Abdullah pun segera menuju lokasi yang sudah disepakati itu. Dan memang benar, ternyata Nabi ada di lokasi.
Karena kelalaian itu, Nabi mengatakan, “Engkau sudah menyusahkan aku. Aku sudah menunggumu selama tiga hari.”
**
Janji memang sekadar kata-kata. Kadang seperti ‘pemanis’ untuk memuluskan keinginan dari orang-orang yang dijanjikan.
Jangan pernah mempermainkan janji. Hanya setan yang suka memainkan janji. “(Setan) itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong terhadap mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain tipuan belaka.” (QS. Annisa: 120)
Tepatilah janji meskipun tentang hal-hal kecil. Jangan pernah lihat besar dan kecilnya janji. Tapi lihatlah siapa Yang Maha Menyaksikan dari janji yang pernah diucapkan. [Mh]