CINTA saat ini seperti cerita yang tak pernah ada ujungnya. Boleh jadi, Islam memandangnya sederhana. Tak serumit yang dibayangkan.
Cinta menjadi tema yang selalu segar di semua cerita. Lebih dari separuh tema film, lagu, novel, dan lainnya berisi tentang cinta.
Konfliknya seolah begitu rumit. Ada cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ada cinta yang dikhianati. Ada cinta yang tak berujung jodoh. Ada cinta yang kandas di tengah jalan. Dan seterusnya.
Semakin banyak konflik, semakin cinta menjadi asyik sebagai permainan. Semakin nikmat sebagai tontonan. Semakin laris sebagai lagu dan syair. Dan semakin menarik di sebuah novel.
Namun jika merujuk pada tuntunan Islam, tema tentang cinta begitu sangat sederhana. Dan ujungnya selalu bahagia.
Rasanya begitu jarang kitab-kitab hadis, sejarah salafus soleh yang diselimuti kisah tentang cinta antara pria dan wanita. Bahkan hampir tak ditemukan.
Ada sejumlah paradigma yang berbeda, cinta dalam pandangan Islam dan pandangan selainnya.
Pertama, Islam memandang bahwa cinta pria dan wanita bisa direkayasa. Tidak tumbuh liar di sembarang tempat.
Perhatikanlah firman Allah subhanahu wata’ala yang kerap menjadi rujukan utama pernikahan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan, Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini setidaknya menunjukkan bahwa cinta pria dan wanita harus direkayasa melalui pernikahan. Tidak tumbuh liar di sembarang tempat. Harus dalam satu wadah yang bernama pernikahan.
Dari pernikahan itu, Allah anugerahkan keduanya sakinah atau saling kecenderungan. Kemudian Allah anugerahkan mawaddah dan rahmah: cinta dan kasih sayang.
Jadi, logikanya tidak terbalik seperti yang dipahami dan diyakini umumnya saat ini. Bahwa, seolah-olah untuk bisa harmonis dalam rumah tangga, maka satu sama lain harus saling cinta.
Bahkan ada pribahasanya: tidak membeli kucing dalam karung. Seolah tidak mungkin jodoh bisa langgeng kalau tidak saling jatuh cinta sebelumnya.
Logika ini terbantahkan dengan kisah para salafus soleh yang nyaman-nyaman saja dalam rumah tangga. Padahal, mereka menikah bukan dari hasil ‘gerilya’. Tapi dijodohkan oleh guru atau orang tua mereka.
Sebaliknya, mereka yang mengumbar romantisme cinta sebelum nikah, justru tak bertahan lama dalam rumah tangganya. Lihatlah para umumnya artis yang tak malu berganti-ganti pasangan, padahal mereka menemukannya dalam gerilya panjang.
Kedua, Islam memandang bahwa syahwat itu harus dikekang dan dikendalikan.
Imajinasi tentang cinta lahir dari dorongan syahwat antara pria dan wanita. Syahwat ini anugerah Allah. Karena dengannya, manusia bisa berkembang biak.
Namun, Allah mengajarkan manusia bagaimana mengelola syahwat. Antara lain, menutup aurat, tata cara pergaulan pria dan wanita, dan menyegerakan pernikahan jika sudah tiba waktunya.
Jadi, tidak ada eksperimen cinta dalam Islam. Jodohan dahulu, baru kemudian saling cinta-cintaan. Dan cara ini sangat berkah: aman, nyaman, dan sangat menghasilkan.
Jika ada pertanyaan: adakah kasus cinta tak berbalas di cara Islami ini, rasanya hampir-hampir tak ada. [Mh]