MAKNA firman Allah tentang bidadari-bidadari surga. “Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung. Lalu kami jadikan mereka perawan-perawan, yang penuh cinta dan sebaya umurnya.” (QS. Al waqi’ah : 35 – 37)
Ummu Salamah bertanya pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam makna firman Allah tentang bidadari.
Baca Juga: Lebih Utama dari Para Bidadari Surga
Makna Firman Allah Tentang Bidadari-Bidadari Surga
Rasulullah berkata, “Mereka adalah perempuan-perempuan yang dicabut nyawanya pada waktu di negeri dunia dalam keadaan usia senja, rambutnya merah menyala lagi beruban. Lalu Allah menciptakan mereka – setelah usia senja – menjadi perawan lagi.
Uruban artinya mereka adalah perempuan-perempuan yang penuh cinta dan kasih sayang. Atraban adalah mereka semua dilahirkan sebaya.”
Ummu Salamah termasuk salah satu dari istri Nabi yang dikenal memiliki kepribadian lengkap. Ia cerdas, bijaksana, berani dan dikenal sebagai ahli hadits perempuan yang meriwayatkan perkataan dan perbuatan Nabi di samping Aisyah binti Abu Bakar.
Ummu Salamah bernama asli adalah Hindun binti Abu Umayah Al-Makhzumi. Ia lahir pada tahun 580 masehi atau 29 hijrah.
Dalam sebuah riwayat Ath Thabrani, Ummu Salamah banyak bertanya tentang keutamaan perempuan-perempuan muslimah dari bidadari-bidadari surga.
Setelah pertanyaan di atas, beliau bertanya lagi, “Rasulullah apakah perempuan-perempuan di dunia lebih baik ataukah para bidadari yang bermata jeli itu?’
Rasulullah menjawab, “Bahkan perempuan-perempuan dunia lebih baik ketimbang mereka, seperti keutamaan baju luar daripada baju dalam.”
Lalu Ummu Salamah berkata, “Aku bertanya lagi, “Dengan apakah sehingga perempuan-perempuan dunia lebih mulia, Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Dengan shalat, puasa, dan ibadah mereka. Allah akan memancarkan cahaya pada wajah-wajah mereka.
Mengenakan pakaian sutra putih pada tubuh-tubuh mereka. Mengenakan pakaian hijau dan perhiasan berwarna kuning. Tempat pemanggangannya terbuat dari mutiara dan penyisirnya terbuat dari emas.
Mereka berkata, “Bukankah kami ini adalah perempuan-perempuan yang abadi dan tidak akan mati selama-lamanya? Bukankah kami ini adalah perempuan-perempuan yang penuh kenikmatan dan tidak pernah kesusahan selama-lamanya? Bukankah kami peerempuan-perempuan yang rela (ridha) dan tidak pernah sekalipun murka? Beruntunglah orang yang menjadi milik kami dan yang memiliki kami.”
Aku berkata, “Rasulullah, salah seorang perempuan dari kalangan kami menikah dengan dua, tiga atau empat orang pria. Kemudian perempuan itu meninggal dan masuk surga.
Mereka (para suami) pun masuk surga bersama perempuan tersebut. Siapakah yang akan menjadi suaminya?” Rasululah menjawab, “Ummu Salamah, perempuan itu diberi pilihan sehingga ia memilih mana antara mereka yang paling baik akhlaknya ketika di dunia.
Perempuan itu berkata, “Ya Allah, suamiku ini dulu paling baik akhlaknya ketika di dunia. Lalu, nikahkanlah aku dengannya.” (HR. Ath Thabrani )
Begitulah Ummu Salamah, ia akan terus bertanya tentang suatu hal hingga ia merasa puas. Sikap inilah yang menjadi teladan para muslimah bahwa meski sudah berumah tangga dan memiliki anak, tidak menghalangi langkah untuk menuntut ilmu.
Sikap kritis Ummu Salamah bahkan menyebabkan turunnya ayat Allah. Diriwayatkan dari Mujahid ia berkata: Ummu Salamah bertanya pada Nabi, “Ya Rasulullah, kaum lelaki berperang, sedangkan kami tidak. Dan kami mendapat setengah bagian laki-laki dalam soal warisan.” Maka turunlah ayat An-Nisa’ 4:32 dan Al-Ahzab :35.
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki itu ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nisa : 32)
Ummu Salamah wafat pada tahun 61 hijriyah atau 680 masehi. Ia menjadi istri Nabi yang paling akhir wafatnya dan paling panjang usianya mencapai hingga sekitar 84 atau 90 tahun. Ia dimakamkan di Baqi’ yang berlokasi di sebelah masjid Nabawi, Madinah. [Maya Agustiana/Cms]