BUAYA sudah terlanjur dinobatkan sebagai sosok yang bermasalah tentang kesetiaan cinta. Orang pun sering menyebut: buaya darat!
Salah satu perilaku buruk dalam masalah keharmonisan rumah tangga adalah tentang kesetiaan cinta. Khususnya para lelaki.
Ada yang ‘bermain’ aman melalui cara yang disahkan secara hukum Islam. Tapi, sebagiannya lagi nyaris jatuh pada perzinahan. Na’udzubillah.
Mereka yang tidak setia bisa karena banyak sebab. Bisa karena ada ‘godaan’ yang lebih segar dan menarik. Bisa juga karena ada masalah internal rumah tangga.
Dari semua masalah itu, yang lebih parah adalah karena adanya ‘bawaan’ buruk dari pihak lelaki. Yaitu, perilaku yang kurang setia dengan istri. Slogannya klasik: rumput tetangga kok lebih hijau dan segar daripada rumput di rumah sendiri.
Tentu tidak semua lelaki seperti itu. Hanya sebagian kecil saja. Sebagian besarnya mungkin berbeda.
Tentang perilaku tidak setia itu, orang pun menyebutnya sebagai ‘buaya darat’ atau ‘buaya’. Yaitu, sosok buruk yang dianggap pas melambangkan kaum lelaki yang tidak setia.
Benarkah perumpamaan sosok buaya dalam kasus itu? Kalau ditelisik lebih dalam, ternyata buaya seratus delapan puluh derajat berbeda dari yang dituduhkan itu.
Dalam kehidupan aslinya, buaya begitu setia pada pasangannya. Baik yang jantan maupun betina. Ketika keduanya ‘terikat’ dalam sebuah jodohan alami, sepasang buaya itu akan sehidup semati.
Tidak heran jika masyarakat Betawi melambangkan buaya sebagai sosok yang setia. Wujud buaya dalam olahan roti kerap ditampilkan dalam ‘serah-serahan’ calon sepasang pengantin.
Jadi, kita sudah salah kaprah menuduh buaya. Buaya ternyata jauh lebih mulia dalam hal kesetiaan cinta daripada sebagian manusia, khususnya lelaki.
Alih-alih menjadi pantas sebagai tuduhan buruk itu, justru, buaya bisa menjadi cermin. Bahwa, cinta suami istri memang sebaiknya selalu segar dan hidup.
Suami istri tak ubahnya seperti hujan dan tanaman. Ketika salah satunya tak ada, keadaan dirinya menjadi serasa hampa.
Jangan seperti air dan minyak. Meski bisa saja bertemu dalam wadah yang sama, tapi hampir tak mungkin menyatu dalam senyawa sempurna.
Wahai para lelaki, wahai para suami, mencintai istri itu seperti berada dalam kereta api pada sisi sebuah jendela. Meskipun banyak tempat yang dilalui, tapi posisi tak pernah bergeser sedikit pun.
Sayangi istri, karena dengan begitu akan menjadi alasan kuat kenapa kita juga akan disayangi. Selalulah berada di hati istri, karena dengan begitu hatinya akan selalu hidup untuk suami. [Mh]