SEJAK pertama kali diturunkan, Al Qur’an telah mempesona bangsa Arab, baik mereka yang dadanya dilapangkan untuk menerima Islam maupun mereka yang mata dan hatinya tertutup suatu selaput.
Djoko P. Abdullah menulis, satu-satunya sumber yang direguk generasi pertama ialah Al Qur’an, hanya Al Qur’an.
Karena hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan petunjuknya hanyalah refleksi dari Al Qur’an.
Maka ketika ‘Aisyah ditanya tentang akhlak Rasul, beliau menjawab: “Akhlak Rasulullah adalah Al Qur’an”.
Dengan demikian, Al Qur’an adalah satu-satunya sumber generasi pertama, mereka mengatur segala kehidupannya berdasarkan sumber ini.
Apakah pada masa itu umat manusia belum memiliki peradaban, kebudayaan dan ilmu pengetahuan? Ternyata pada masa itu sudah tersebar peradaban dan kebudayaan Romawi, dan undang-undangnya yang sampai sekarang masih menjadi ideologi sebagian besar Eropa.
Pada masa itu juga sudah ada peradaban Yunani, pemikirannya dan filsafatnya. Dan peradaban Persia; mitologi, aqidah dan sistem hukumnya.
Begitu juga peradaban yang lain yang dipengaruhi Yahudi dan Nasrani, yang keduanya berada di tengah- tengah bangsa Arab.
Jadi para sahabat menjadikan Al Qur’an sebagai ideologi dan satu-satunya manhaj pembentukannya.
Bukan karena dunia pada waktu itu tidak memiliki peradaban dan kebudayaan, tetapi hal itu sudah menjadi tekad yang bulat dan target yang dituju.
baca juga: 4 Janji Allah dalam Alquran
Sejak Dulu, Al-Qur’an Telah Mempesona Bangsa Arab
Hal itu dapat kita lihat ketika Rasulullah Shalallallahu alaihi wa sallam marah karena melihat Umar memegang lembaran Taurat.
Beliau berkata: “Seandainya Musa hidup di tengah-tengah kita, tidak halal baginya kecuali harus mengikutiku”.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hendak mencetak satu generasi yang bersih hatinya, cara berpikirnya dan world view-nya.
Sehingga benar-benar terbentuk satu portofolio kemanusiaan universal yang paling ideal di muka bumi yang bebas dari manhaj dan ideologi lain.
Sejak pertama Al Qur’an telah mempesona bangsa Arab, baik mereka yang dadanya dilapangkan untuk menerima Islam maupun mereka yang mata dan hatinya tertutup suatu selaput.
Kisah masuk Islamnya Umar bin Khatab dan berpalingnya Al Walid Ibnul mughirah, adalah dua contoh paradoksal tentang kisah keimanan dan keberpalingan (faithful and unfaithful).
Dan keduanya memperlihatkan dengan jelas daya pesona Qurani yang sejak awal telah memukau bangsa Arab.
Juga keduanya menjelaskan pada dua arah yang saling berlawanan, sampai sejauh mana pengaruh pesona yang menakjubkan sehingga pengaruhnya terhadap mereka yang beriman maupun mereka yang menolak adalah sama.
Dari semua riwayat tentang masuk Islamnya Umar, mempunyai satu kesimpulan bahwa setelah Umar mendengar atau membaca sebagian ayat Qur’an, maka itulah stimulan yang membuat Umar pada akhirnya menyerah untuk menerima Islam.
Memang ada sejumlah variabel lain yang ada dalam kejiwaan Umar yang tak dapat kita abaikan begitu saja.
Namun faktor itu tidaklah menafikan bahwa justru daya pesona Al-Qur’an lah yang telah memberi pengaruh dan menjadi keputusan untuk mempercepat masuk Islamnya Umar.
Al Walid Ibnul Mughirah adalah ahli hukum, saudagar kaya, tajir melintir suku Quraisy.
Ia memiliki pandangan moral yang baik terbukti dengan sikapnya yang mengharamkan minuman keras, sebelum kedatangan Islam.
Ia juga Ayah dari seorang sahabat Khalid Ibnul Walid.
Al Walid juga tokoh senior yang mendapat julukan Raihanat Quraisy (aroma harum suku Quraisy) pernah mendengar beberapa ayat Al-Qur’an yang menyebabkan hatinya menjadi lembut.
Lalu Quraisy spontan bereaksi. Kata mereka; “Rupanya Al Walid telah tertarik dan menerima Islam. Dan semua orang Quraisy bisa jadi akan tertarik juga”.
Lalu mereka mengutus Abu Jahal mendatangi Al Walid untuk mengangkat-angkat prestise harga dirinya, dan membanggakan nasab keturunan juga berlimpahnya harta benda.
Lebih dari itu, dia mendesak agar Al Walid memberikan statement resmi tentang Al Qur’an agar menjadi pegangan Quraisy dan mengetahui bahwa Al Walid tetap membenci Al Qur’an.
Tetapi Al Walid justru berucap:
“Apakah gerangan yang akan aku katakan tentang Qur’an? Demi Allah tak ada seorang pun di antara kalian yang lebih mengetahui tentang sya’ir, ritme rajaz, atau tentang sya’ir jin.
Demi Allah yang diturunkan kepada Muhammad tak ada satu pun yang menyerupainya.
Demi Allah, tuturnya begitu manis, mempunyai keindahan demikian rupa yang akan melampaui semua bentuk narasi yang ada.
Ungkapan kata-kata dan diksinya begitu mengagumkan, tak dapat disaingi oleh apapun”.
Hal ini menunjukkan bahwa seketat apapun kaum Quraisy menyembunyikan nurani mereka terhadap keindahan Al Qur’an, pada akhirnya tetap saja ada yang luput dari mereka.
Sehingga mengungkapkan dengan kejujuran dari lubuk hati terdalam mereka. Disebabkan mereka adalah kaum terdidik tentang gramatikal Arab, serta paham bahwa Al Qur’an tidak mungkin buatan manusia atau jin.[ind]