SEORANG ulama pernah menasihati. “Jadilah seperti pohon buah mangga yang dilempar dengan batu, tapi dibalas dengan jatuhnya buah yang lezat.”
Fenomena pelepasan sandera warga Israel yang dilepas Hamas begitu menakjubkan dunia. Mereka tidak ditahan, tidak disakiti apalagi disiksa. Mereka dilayani layaknya tamu, dan dicintai layaknya keluarga.
Seperti itulah gambaran takjubnya seorang Joe Biden dengan Hamas. Semula ia menyebut-nyebut Hamas teroris, tapi belakangan ia meminta maaf. Bukan hanya kepada Hamas, tapi juga kepada dunia Islam.
Hal itu setelah Hamas melepas seorang tawanan bocah perempuan usia empat tahun bernama Abigail. Dunia begitu terpesona dengan tampilan Abigail dan Hamas yang layaknya anak dengan sang pengasuh. Bukan seperti penampakan penyandera dan korban.
Abigail tersenyum puas. Ia memegang boneka kesayangannya. Tak sedikit pun ada rasa takut, benci, marah, bahkan menyesal dari Abigail terhadap Hamas yang mendampinginya menuju personil palang merah dunia.
Abigail bahkan melambaikan tangan perpisahan kepada personil Hamas. Sorot matanya lebih menunjukkan beratnya sebuah perpisahan daripada ketakutan.
Bukan hanya Abigail. Semua tawanan warga Israel: laki, perempuan, dewasa, anak-anak, tua, dan muda; memperlihatkan wajah kesedihan sebuah perpisahan daripada kebencian kepada Hamas. Kenapa?
Seorang warga Indonesia yang menikah dengan warga Gaza, Muhammad Husein, pernah menjelaskan, “Hamas menyandera warga Israel layaknya melayani tamu dengan penuh penghormatan.”
Nalar ini sulit dicerna non muslim, termasuk petinggi Israel dan Amerika. Pemandangan indah itu seperti meluluhkan hati keras mereka. Seolah ‘tembakan’ akhlak Hamas yang diperlihatkan melalui perlakuan mereka terhadap tawanan jauh lebih dahsyat dari bom apa pun.
Karena yang diluluhlantakkan ‘bom’ akhlak Hamas bukan gedung-gedung kokoh. Bukan pula kendaraan-kendaraan tempur baja Israel. Tapi justru hati-hati keras mereka.
Hamas bukan berkreasi dengan gaya baru. Mereka mencontoh apa yang diteladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika terjadi peristiwa Fathul Mekah atau penaklukan kota Mekah, sebagian besar warga Mekah yang musyrik merasa pasrah. Di hadapan mereka Rasulullah dan pasukan muslim yang tak lagi mampu mereka kalahkan. Tak mampu lagi mereka hina-hina. Dan tak mampu lagi mereka usir dan sakiti.
Terbayang bagaimana beberapa waktu lalu sosok-sosok itu telah mereka hina, mereka siksa, mereka bunuh, mereka usir, dan juga perangi. Bahkan semua harta yang ditinggalkan karena hijrah ke Madinah, telah mereka rampas dan kuasai.
Kalaupun hari ini mereka dibalas dengan penyiksaan dan pembunuhan, atau pengusiran seperti yang telah mereka lakukan; itu pun mereka anggap sebagai hal yang pantas. Wajar.
Namun, apa yang berikutnya mereka saksikan. Alih-alih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tampil angkuh di hadapan mereka, justru sosok mulia itu hadir dengan tubuh tertunduk dan penuh kerendahan hati.
“Kalian semua aman dan kami maafkan,” ucap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Akhlak mulia inilah yang ternyata jauh lebih dahsyat mampu meluluhkan hati keras mereka. Pemandangan berikutnya, hampir tak satu pun dari musyrik Quraisy itu yang tetap memilih musyrik. Mereka dengan sukarela memeluk Islam dan siap berjuang membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “…Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, niscaya orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS. Fushilat: 34)
Pembalasan yang paling berat dirasakan musuh bukan karena mereka merasakan keburukan serupa. Tapi ketika mereka dibalas dengan cinta. Balasan itulah yang paling meluluhkan hati keras mereka. [Mh]