ADAKAH yang hilang dari umat ini, sehingga umat Islam begitu direndahkan pihak lain? Kita bisa belajar dari masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
Belum ada yang membanggakan dari umat Islam saat ini. Semuanya tampak seperti buih. Banyak tapi tak ada isi.
Hal itu tampak secara global dari fenomena Israel yang bisa seenaknya menginjak-injak Palestina. Dan dari keadaan lokal di masing-masing negeri muslim. Islam tampak tak begitu berwibawa.
Coba simak yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Di masanya, separuh dunia saat itu dalam gengganggaman Islam. Persia di timur takluk. Romawi di Bizantium, sebelah utara Madinah, juga lari kocar-kacir. Dan Palestina, berhasil dikuasai dengan mudah.
Ada sejumlah hal yang dilakukan Khalifah Umar terhadap para mujahidin di masanya. Pertama, Khalifah meneladaninya sendiri dengan segala keunggulan akhlak Islam.
Ia hidup sederhana layaknya umumnya umat saat itu. Tidak punya istana. Tidak punya pengawal khusus. Tidak ada anggaran khusus yang memfasilitasinya.
Ketika Palestina takluk di tangan pasukan Islam, Khalifah Umar meninjau kesana. Ia berangkat hanya berdua dengan pembantunya dengan kendaraan seekor keledai.
Karena keledainya hanya satu, Khalifah menaiki keledai bergantian dengan pembantunya. Setibanya di Palestina para pembesar Nasrani tak menyangka kalau itu adalah Khalifah. Gamis yang dipakai sama dengan yang dipakai pembantunya. Dan, menaiki keledai pun secara bergantian.
Pertanyaannya, adakah saat ini pemimpin besar muslim yang setidaknya separuh seperti Khalifah Umar?
Kedua, Khalifah Umar berkali-kali menegaskan bahwa kemenangan dan kekuatan pasukan Islam bukan karena peralatan tempur dan kehebatan komandannya. Melainkan, hanya karena pertolongan Allah subhanahu wata’ala.
Karena itulah, Khalifah menjaga sekali niat dan mentalitas para pasukan Islam saat itu. Termasuk terhadap kepemimpinan Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang sangat fenomenal.
Bayangkan, di tengah prestasi gemilang Panglima Khalid bin Walid, Khalifah Umar justru menggantinya dengan sosok komandan yang lain.
Kenapa? Khalifah Umar ingin meluruskan akidah perjuangan umat saat itu bahwa bukan Panglima Khalid yang memuluskan perjalanan penaklukan Islam. Tapi semata-mata karena pertolongan Allah subhanahu wata’ala.
Karena itulah, jagalah niat perjuangan semata-mata karena hanya ingin meraih ridha Allah, dan untuk menegakkan kalimat Allah di seluruh bumi. Bukan untuk ketenaran, bukan karena rampasan perang, dan lainnya.
Ketiga, Khalifah Umar begitu memperhatikan hasrat seksual para mujahidin saat itu. Bayangkan, hal yang sangat ‘tabu’ itu pun sangat diperhatikan beliau.
Khalifah Umar menanyakan rutinitas kewajaran hubungan seksual dari dua pihak: dari pihak suami dan dari pihak istri para pasukan.
Dari sini didapat kesimpulan, bahwa setiap pasukan tidak boleh bertugas di luar rumah lebih dari empat bulan. Harus ada pergiliran dimana anggota pasukan bisa bertemu dengan istri-istri mereka di rumah.
Hal ini sebuah pengamatan yang sangat jitu dari seorang Khalifah yang bijaksana. Jangan sampai pasukannya sukses di medan perang, tapi akhirnya gagal di rumah tangganya sendiri.
Termasuk juga tentang keseimbangan kejiwaan masing-masing anggota pasukan Islam. Karena terpenuhinya kebutuhan dasar itu, mereka akan berjuang tanpa khawatir tergoda oleh tarikan syahwat di luar sana.
Islam tidak miskin teladan agar kebangkitan bisa terulang kesekian kalinya. Di luar kisah perang pun, kita bisa banyak belajar dari para teladan umat yang bertebaran di sepanjang sejarah Islam. [Mh]