PENGAMAT kebijakan publik dari INDEF menyayangkan keputusan pemerintah yang melarang sosial media berdagang online. Menurutnya, yang dibutuhkan itu kesetaraan bukan pelarangan.
Pengamat kebijakan publik INDEF, Nailul Huda, mencermati keputusan pemerintah yang akhirnya melarang social commerce melakukan transaksi bisnis.
Menurutnya, yang harus dilakukan pemerintah melalui revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 adalah melakukan kesetaraan, antara bisnis online dan offline.
“Yang harus dilakukan pemerintah itu mestinya kesetaraan antara perdagangan online dan offline,” ungkap Nailul Huda seperti dilansir Tribunnews melalui channel youtube.
Jadi, tambah Nailul, bukan dengan cara melarang perdagangan melalui sosial media. Karena itu berarti langkah mundur.
Sosial Media sebagai Perkembangan Teknologi
Nailul menjelaskan bahwa sosial media itu sebagai perkembangan teknologi yang sangat bermanfaat untuk kehidupan sosial termasuk perdagangan.
Jauh sebelum ini, masyarakat sudah terbiasa melakukan perdagangan melalui sambungan onine seperti Kaskus. Dan hal itu justru memperluas dan mempermudah cakupan perdagangannya.
Begitu pun dengan pelaku UMKM, menurut Nailul, selama ini juga memanfaatkan sosial media seperti Fb dan Ig untuk memperluas jaringan bisnis mereka.
“Kalau semua itu dilarang, inikan langkah mundur,” ucap Nailul.
Kesetaraan antara Dagang Online dan Offline
Nailul menjelaskan bahwa ketimpangan yang terjadi antara perdagangan online dan offline adalah tidak adanya kesetaraan.
Selama ini, perdagangan offline harus memenuhi sejumlah syarat yang harus dipatuhi. Seperti, pajak, sertifikat dari BPOM dan SNI. Dan hal itu berarti penambahan beban biaya yang akhirnya menjadi nilai jual barang.
Sementara, perdagangan secara online melalui sosial media seperti di Tik Tok Shop dan lainnya tidak diatur tentang syarat seperti di offline itu. Jadi, wajar saja jika terjadi ketimpangan harga jual barang yang cukup besar.
Selain itu, di social commerce dan e-commerce umumnya menjual produk impor yang harganya jauh lebih murah. Perkiraan prosentase produk impor yang dijual pun cukup besar sekitar 80 persen.
Hal ini tentu akan berdampak pada produsen lokal termasuk UMKM yang kalah saing dengan produk impor.
Padahal menurut Nailul, di Cina sendiri, perdagangan melalui e-commerce juga wajib menyertakan sejumlah sertifikat produk.
Keberpihakan pada Produk Lokal
Nailul Huda juga menyoroti lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap produk lokal termasuk di dalamnya UMKM. Selama ini, produk lokal khususnya UMKM dibiarkan bersaing secara bebas dengan produk impor.
Karena itu, peneliti INDEF ini mengusulkan pemerintah agar memberikan porsi khusus untuk produk lokal agar bisa bersaing di perdagangan online. Misalnya, e-commerce atau social commerce wajib menjual sebesar 30 persen produk lokal. [Mh]