PEOPLE power kembali menjadi istilah yang viral akhir-akhir ini. Sebenarnya, apa arti people power dan kenapa istilah itu ada di negeri kita.
Secara bahasa people power artinya kekuatan rakyat. Dalam istilah lain, sebagian ahli juga memaknakan people power sebagai kedaulatan rakyat.
Dalam paradigma negara demokratis, rakyat memiliki power atau kedaulatan yang paling tinggi. Kedaulatan itu dilembagakan dalam sistem perwakilan di DPR dan MPR.
Sebelum reformasi, Presiden sebagai pelaksana tertinggi kedaulatan rakyat dipilih oleh MPR. Dan dalam pelaksanaannya, Presiden diawasi oleh DPR.
Tidak heran jika Undang-undang mengatur kewenangan MPR DPR dalam memberhentikan Presiden. Tentu jika ada pelanggaran konstitusi negara.
Masalah baru muncul ketika lembaga-lembaga perwakilan kedaulatan rakyat itu tidak berfungsi normal. Sehingga tiba-tiba presiden menjadi kekuatan yang seperti absolut atau mutlak.
Dalam keadaan seperti itu, bisa muncul ketegangan antara presiden dengan rakyat. Hal ini terjadi karena kesenjangan antara kebijakan yang dikeluarkan dengan kebutuhan rakyat yang terabaikan.
Dengan kata lain, people power terjadi karena rakyat ingin mengambil ‘paksa’ kedaulatan yang dirampas oleh presiden. Biasanya, proses ini akan memunculkan ketegangan, bahkan kekerasan antara pihak pemerintah dengan rakyat.
Sejarah People Power
Indonesia bukanlah negara yang asing dengan gerakan people power. Setidaknya, ada dua pengalaman peristiwa yang bisa disebut people power di dua masa yang berbeda.
Pertama adalah di tahun 1965 hingga tumbangnya rezim Orde Lama yang dipimpin oleh mantan presiden Soekarno.
Saat itu, keadaan ekonomi sangat parah. Bahkan pernah terjadi nilai uang rupiah yang nyaris tak lagi berharga. Untuk membeli sembako misalnya, orang bisa membayarnya dengan uang kertas yang bertumpuk-tumpuk.
Begitu pun di bidang politik. Isu PKI menjadi sorotan rakyat yang sangat sensitif. Dan puncaknya apa yang disebut dengan G/30/S/PKI. Peristiwa ini menjadikan perang terbuka antara satuan di tentara nasional.
Kedua adalah tumbangnya Orde Baru di tahun 1998. Hal ini karena korupsi merajalela di kalangan pejabat. Dan puncaknya kejatuhan nilai rupiah terhadap mata uang dolar Amerika yang memporak-porandakan ekonomi nasional.
Baik di people power masa Orla maupun Orba, dua komponen rakyat yang selalu tampil di garis depan adalah mahasiswa dan rakyat umum.
Dan di dua peristiwa bersejarah itu pula benturan antara pihak pemerintah dengan rakyat tak lagi terhindarkan. Bahkan terdapat korban jiwa.
Membunyikan People Power
Akhir-akhir ini, seorang tokoh pergerakan yang juga mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Amien Rais, kembali bersuara lantang. Dan istilah people power kembali digaungkan.
Hal itu setidaknya sudah disuarakan sejak beberapa bulan terakhir ini. Alasan utama dari penyuara gerakan ini adalah bahwa pemerintah tidak lagi berada dalam garis kebijakan Reformasi, baik politik, hukum, maupun ekonomi.
Tentu saja hal ini memunculkan pro dan kontra di akademisi dan rakyat. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Sebuah pemandangan yang relatif berbeda dengan yang pernah dibunyikan di masa Orla dan Orba.
Boleh jadi, sebuah rezim belajar dan peristiwa sejarah kejatuhan rezim-rezim sebelumnya. Hal ini penting agar mereka tidak terjatuh dalam ‘lubang’ yang sama.
Masalahnya, apakah apa yang disebut kekuatan oposisi yang melibatkan kekuatan-kekuatan rakyat juga belajar dari peristiwa people power masa lalu?
Terlepas dari itu, rakyat sebenarnya menginginkan keadaan politik dan ekonomi yang stabil agar mereka bisa melangsungkan kehidupan dengan normal.
Namun, suatu hal yang kadang dilupakan para pemegang kekuasaan. Bahwa, people power itu tidak semata-mata terjadi karena variabel-variabel tadi. Melainkan juga sebuah sunnatullah.
Yaitu, ketika ketidakadilan begitu massif, ekonomi dalam titik nadir, politik dan hukum yang stagnan seperti ‘kubangan kotor’, maka diinginkan atau tidak, disangkal atau tidak; sunnatullah people power bisa terjadi kapan saja. [Mh]