BERIKUT ini adalah sebuah kisah nyata keajaiban di Masjid Nabawi, sebuah pengalaman menakjubkan yang dituturkan oleh Haekal Siregar, penulis yang dikenal lewat buku “Nikah Dini Keren”, saat menunaikan Ibadah Haji tahun 2024.
Kejadian ini sendiri berlangsung tepatnya tanggal 24 juni 2014. Ada sebuah kisah menarik di Masjid Nabawi pada waktu dia berhaji, tatkala subuh menjelang saya bersama teman saya Pak Anang, kebagian tugas menjaga seorang kakek bernama Daeng manggati Adam, anggota rombongan saya.
Kakek ini saking tuanya sudah sedikit pikun, baru keluar hotel sedikit sudah lupa arah pulang.
Bahkan saluran kemihnya pun sudah tidak terkontrol sehingga perlu dipakaikan popok agar tidak buang air kecil kemana-mana.
Tambahan lagi, berhubung sang kakek selama hidupnya mingkin tinggal di daerah Makasar bahasa Indonesianya pun kurang jelas. Sehingga kami yang tinggal sekamar selama sepuluh hari saja sampai akhir tidak bisa begitu jelas mendengarkan ucapan sang kakek.
Setelah sampai di Masjid Nabawi sekitar pukul 3 dini hari ternyata masjid sudah luar biasa penuh.
Ribuan orang shalat sunnah, membaca alquran, berdoa, dan sebagainya.
Saya dan Pak Anang juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengantri berdoa di Raudhoh.
Namun, antriannya sudah penuh oleh mereka yang mungkin telah antri mulai 1, waktu itu saya sempet kepikiran bergantian dengan Pak Anang.
Dengan begitu, sang kakek akan selalu dijaga oleh seseorang. Tapi, kami tidak ada yang mau mengalah. Jadilah kami berdua mengantri bersama di Raudhoh, setelah mewanti-wanti dengan tegas agar si kakek tetap di tempat dan tidak kemana-mana.
Singkat kata, proses mengantri sampai balik lagi ke tempat semula, memakan waktu kira-kira satu jam.
saya pun terpisah dengan Pak Anang saking penuhnya antrian, lega dan bersyukur memperoleh kesempatan berdoa di Raudhoh.
Saya kembali ke tempat semula ternyata sang kakek sudah tidak ada lagi di sana, saya merasa panik karena di tengah ribuan orang untuk mencari kakek.
Tiang tempat saya tinggalkan sang kakek, sampai saya putari untuk mencari keberadaan sang kakek.
Saya juga memutari tiang-tiang sekitar situ tapi sama sekali tidak ketemu, saya mencari sang kakek sekitar 2 jam.
Diselingi oleh shalat subuh, waktu itu saya masih berpikiran positif saya kembali ke hotel berharap sang kakek sudah dibawa oleh Pak Anang.
Ternyata di hotel pun sang kakek masih tidak ada. Pak Anang juga menyangka sang kakek bersama saya.
Atas saran pembimbing kami, Mbak Elly Lubis, kami menunggu saja kabar siapa tau ada yang menghubungi nomor yang ada di kalung sang kakek.
Sayangnya, nomer tersebut adalah nomor Indonesia, dan saya sendiri mencoba beberapa kali menelepon nomor tersebut namun tidak pernah tersambung.
Tidak ada kabar apapun terkait keberadaan sang kakek. Sampai zuhur, tidak kabar apapun terkait keberadaan sang kakek.
Waktu shalat zuhur, saya dan Pak Anang akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke lemari tempat kami meletakkan sandal bersama sandal kakek.
Di situ saya sampai menunjukkan ke Pak Anang, bahwa sandal sang kakek masih ada di tempatnya.
Artinya sang kakek seharusnya tidak ke mana-mana atau paling tidak, dia ke mana-mana tidak pakai sandal.
Setelah shalat zuhur, kami mencoba untuk mencari lagi sang kakek sekitar satu jam, tanpa hasil.
Begitu juga waktu ashar akhirnya hari itu kami tur Kota Madinah dengan hati berat membayangkan sang kakek yang dari pagi buta belum makan.
Selesai tur pasca ashar, sekitar pukul 16.30 saya kembali ke kamar dan mendapati sang kakek sudah selimutan di tempat tidurnya.
Kisah Nyata Keajaiban di Masjid Nabawi
Baca juga: Umrohnya Anak yang Belum Dewasa
Nah, di sinilah keanehan cerita sang kakek. Ternyata sang kakek dari sejak kami tinggal ke Raudhoh beliau tidak bergerak ke mana-mana.
Padahal waktu mencarinya, saya sampai memutari tiang tersebut berkali-kali namun tidak melihat sang kakek.
Kemudian keanehan kedua, ternyata waktu zuhur sang kakek akhirnya memutuskan untuk duduk di bawah lemari penitipan sandal tempat yang tepat kami datangi ketika melihat sandal si kakek, dan kami juga tidak melihat sang kakek.
Keanehan ketiga yang paling dahsyat, kondisi Masjid Nabawi serupa dengan kondisi penuhnya shalat Ied di Istiqlal hanya saja masjid ini penuh 5 kali sehari.
Pada kondisi penuh seperti itu, sang kakek sama sekali tidak terlihat bingung dengan adanya ratusan orang seumuran kakek di situ.
Sebesar apa kemungkinannya ada orang tiba-tiba bertanya pada sang kakek, di negeri yang berbahasa Arab ini dengan menggunakan bahasa Indonesia?
Jadi, pada saat ba’da ashar sang kakek cerita dia didatangi oleh seorang lelaki dengan pakaian serba putih, dengan wajah Arab, berjenggot tebal, tiba-tiba bertanya dngan bahasa Indonesia ke si kakek, “Sedang apa, Pak?”
“Sedang menunggu teman saya,” jawab sang kakek.
“Mari ikut saya, Pak,” ajak lelaki tersebut dan ternyata lelaki tersebut mengantarkan sang kakek ke hotel tempat kami menginap sampai ke kamar langsung di lantai 14 tanpa bertanya ke sang kakek di mana letak hotelnya.
Apalagi kamarnya dan seandainya pun bertanya, saya yakin sang kakek tidak bisa menunjukkan dengan jelas letak hotel tempat kami menginap apalagi kamarnya, Subhanallah, Allahuakbar![Iqoh]