ADA yang menarik di masa Imam Ghazali, di abad sebelas masehi. Di masa itu, ada beberapa kelompok keilmuan yang saling bersitegang.
Antara lain, ada kelompok filsafat. Ada kelompok sufisme. Ada kelompok ilmu kalam, dan lainnya.
Masing-masing kelompok kadang saling menyalahkan. Bahkan tidak jarang pula terjadi bentrokan fisik masing-masing pendukung.
Imam Ghazali merasa gusar dengan kenyataan itu. Dalam perenungan yang panjang, selama bertahun-tahun, ulama kelahiran Tus di Iran saat ini, menulis sebuah kitab fenomenal. Namanya, Ihya Ulumuddin.
Beliau menulis itu seolah menjelaskan ada spirit yang mati dalam memahami sebuah keilmuan. Bahwa ilmu tidak sekadar pengetahuan. Melainkan juga harus hidup dan menjadi cahaya dalam hati yang lapang.
Jauh beberapa puluh tahun sebelum beliau menulis kitab itu, ada pengalaman menarik antara Al-Ghzali dengan seorang pemimpin perampok.
Usianya masih sangat belia saat itu ketika Imam Ghazali begitu rajin dan tekun menimba ilmu dari banyak guru.
Kala itu, tradisi menuntut ilmu tidak dalam sebuah lembaga pendidikan. Seorang murid dan beberapa rekannya harus bersusah payah mengunjungi para guru yang tinggal di tempat-tempat yang jauh satu sama lain.
Butuh usaha yang luar biasa. Dan hal itu dilalui Imam Ghazali selama bertahun-tahun. Pindah dari satu tempat ke tempat lain demi mengejar seorang guru besar.
Imam Ghazali muda itu selalu mencatat semua yang ia dapat dari para guru. Sebegitu banyak catatannya, hingga memenuhi tas besar.
Suatu kali, dalam sebuah perjalanan menuju seorang guru besar di suatu tempat, rombongannya dicegat segerombolan perampok. Mereka merampas barang-barang berharga para santri ini. Termasuk tas besar Imam Ghazali yang berisi catatan-catatan ilmu.
Karena menilai begitu pentingnya tas yang berisi catatan itu, Imam Ghazali berkata pada pemimpin perampok, “Kalian silahkan merampas semua yang kumiliki. Tapi, jangan tas itu!”
“Kenapa?” kata perampok.
“Karena di situ ada banyak catatan ilmu yang saya dapatkan dari banyak guru,” jawabnya.
Pemimpin perampok itu tertawa. “Betapa rapuhnya ilmu yang kau miliki. Hanya ada dalam tas ini. Jika tas ini tak kau miliki, berarti tak ada ilmu dalam dirimu,” sergah sang perampok.
Perampok itu memeriksa isi tas Imam Ghazali. Setelah memang benar isinya hanya catatan-catatan, tas itu pun dikembalikan ke Imam Ghazali.
Saat itu juga, ada pelajaran berharga yang didapatkan Imam Ghazali dari ucapan perampok. Bahwa, ilmu harus dihafal, bukan berceceran dalam banyak catatan.
Belakangan, sepertinya Imam Ghazali pun menyadari bahwa hafalan-hafalan ilmu itu pun masih belum cukup. Ilmu harus hidup dalam hati agar bisa “menghidupkan” hati-hati orang yang membutuhkan.
Jadi, bukan seberapa banyak ilmu yang kita miliki. Tapi seberapa kuat ilmu-ilmu itu tercermin dalam kehidupan kita sehari-hari. [Mh]