WISUDA penerus tahta. “Li yashadū khutbah Mu’taz, saksikanlah khutbah Mu’taz”. Pengumuman itu disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri.
Para pengawal kerajaan membacakannya di pusat-pusat keramaian sebagai undangan untuk masyarakat luas. Para ahli ilmu berbondong-bondong hadir.
Lapangan di depan istana Khalifah di kota Samarra terlihat penuh sesak oleh lautan manusia. Semua ingin mendengarkan orasi ilmiah sang putra Khalifah.
Setelah memuji Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, pangeran yang kelak dikenal sebagai Khalifah Al-Mu’tazz (252-255 H atau 866-869 M) mulai menyampaikan khutbah intelektualnya.
Sang Ayah, Khalifah Al-Mutawakkil (232-247 H atau 847-861 M), mendengarkan dengan seksama sambil sesekali menganggukkan kepala dan tersenyum bangga.
Begitu khutbah selesai, Khalifah berdiri dari singgasana dan memberikan tepukan bangga ke pundak putranya.
Dipanggilnya Muhammad bin Imran, guru putranya, untuk mendekat. Diucapkannya terima kasih karena telah berhasil mendidik putranya, sambil meminta pengawal menyerahkan guci emas yang ada di dekatnya.
Guci itu tampak berkilauan dan sangat berat. Ternyata di dalamnya berisi tak kurang 5.000 keping dinar emas, yang nilainya setara dengan Rp20 miliyar saat ini.
“Kalau engkau masih membutuhkan yang lainnya, katakan padaku wahai Guru,” pesannya.
Khalifah lalu meminta para pengawal untuk mengeluarkan guci-guci perak lainnya yang berisi uang emas dan perak untuk disebar ke tengah kerumunan hadirin. Jumlahnya sangat banyak sehingga semua kebagian.
Makanan dan minuman dihidangkan. Siapa saja boleh menikmatinya. Penduduk negeri hari itu gembira atas wisudanya Sang Penerus Tahta.
Kisah itu ditulis secara rinci oleh Imam Ibnu Asakir dalam kitabnya “Tarikh Dimasyq”.
Baca Juga: Jakarta Islamic School Gelar Wisuda TK Bernuansa Frozen
Wisuda Penerus Tahta
View this post on Instagram
Penulis buku Journey to the Light Uttiek M. Panji Astuti mengulas tentang wisuda pada zaman khalifah. Barangkali, apa yang dilakukan Khalifah agak tak masuk akal bagi kita hari ini.
Namun, ungkapan kebahagiaan dengan cara memuliakan guru di hari “wisuda” anaknya, juga dilakukan para ulama.
Seperti Imam Abu Hanifah saat anaknya yang bernama Hamad menyelesaikan pelajarannya. Bahkan ada yang menyebutkan itu adalah kelulusannya mutqin membaca Al Fatihah.
Imam Abu Hanifah merasa sangat berterima kasih pada guru putranya itu dan memberinya hadiah 500 dirham.
MasyaAllah!
Wisuda adalah pengakuan atas proses pencapaian seorang murid yang dibuktikan dengan penyampaian makalah ilmiah ilmu yang telah dikuasainya di hadapan para penguji.
Tanpa penyampaian orasi ilmiah, sejatinya tak ada wisuda, karena wisuda bukan sekadar seremoni belaka. Paham ya?[ind]