”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu…… Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah Nabimu).” (Al Ahzab: 33-34)
Ayat ini ditegaskan untuk istri-istri Nabi Saw agar memprioritaskan rumah (keluar kecuali darurat). Namun menariknya di ayat 34 nya, Allah menyuruh mereka (udzkurna) mengingat/menyampaikan ayat-ayat Allah dan hikmah yang turun di rumahnya.
Tentu untuk memahami ayat ini harus menyelaraskan dengan praktik para shahabiyah. Karena sesuai garansi Rasul Saw, “sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi setelahku, dst.”
Pemaparan ayat ini menjadi pembuka Daurah Shahabiyah Sirah Community Indonesia (SCI), ahad lalu, pada tanggal 26 November 2017 oleh Ustadz Asep Sobari.
Rumah menjadi basis akhlak, adab dan bersamaan menjadi basis pendidikan bukan hanya keluarga tapi bagi semua orang. Saat peralihan dari jahiliyah ke islam yang mengajar wanita tak banyak. Sehingga Rasul Saw sangat mendorong mereka mencintai ilmu. Dan kelak hasilnya luar biasa, ujar pendiri SCI.
Pengajar Madrasah Sirah Nabawiyah ini juga menjelaskan metode penyampaian materi dalam daurah ini bukan hanya penjabaran kisah, namun pendalaman analisa sehingga peserta mudah mengambil hikmah dari kisah.
Meski ada empat bidang yang diangkat, yakni peran shahabiyah dalam keluarga, pendidikan, ekonomi dan politik, namun cara penyampaian alumnus Universitas Islam Madinah ini tidak terkotak-kotak, karena bidang satu dan lainnya saling berkaitan.
Selama materi berlangsung ayat pembuka ini menjadi acuan praktik para shahabiyah agar peserta yang hadir memahami bahwa di rumah artinya bukan tidak berprestasi. Aisyah lebih banyak di rumah tapi dari rumahnya ia berhasil mengkader ulama-ulama besar, baik dari generasi sahabat maupun tabi’in bahkan ada juga ulama wanita.
Istri Rasul lainnya yang juga berprestasi dari rumah ialah Ummu Salamah yang membesarkan Hasan Al Bashri. Ibunya ialah pelayan Ummu Salamah sehingga sejak kecil Hasan Al Bashri yang lahir di rumahnya sering dibawa Ummu Salamah beraktivitas termasuk ke tempat Ummahatul Mukminin. Maka tak heran kelak Hasan Al Bashri menjadi ulama tabi’in terbaik.
Meskipun mereka lebih banyak di rumah, namun baik seluruh Ummahatul Mukminin maupun shahabiyah dari Anshar dan Muhajirin ikut serta berperan membangun peradaban Islam.
Seperti, Ummu Waraqah Al Ansyariah yang diberi Rasul Saw lisensi untuk mengajar Al Qur’an dan mengimani keluarganya, karena kemungkinan di rumahnya tidak ada laki-laki dewasa dan yang pandai membaca Al Qur’an. Shahabiyah lainnya, Asyifa dari Muhajirin juga mendapat lisensi dari Rasul Saw mengajarkan ilmu pengobatan.
Namun, menariknya ternyata pada praktiknya Ummahatul Mukminin dalam kondisi tertentu tetap keluar rumah. Di masa Umar bin Khattab, Ummu Salamah ikut serta dalam mengembangkan proses pendidikan di Kuttab.
Zainab binti Jahsy bertransaksi di pasar. Ia-lah istri Nabi Saw yang panjang tangannya (paling dermawan). Cara sedekahnya berbeda dengan istri Nabi yang lain, karena uang yang ia sedekahkan hasil keringatnya sendiri. Dari keahliannya mengolah kulit menjadi produk, lalu ia jual sendiri di pasar dan hasilnya ia sedekahkan pada fakir miskin. Motivasinya melakukan itu bukan sekadar mencari uang tapi agar bisa sedekah lebih banyak.
Istri-istri Nabi sering tidak punya uang, bukan karena tidak ada. Umar bin Khattab saat menjadi khalifah, memberi tunjangan pada istri-istri Nabi sekitar 1200 dinar (2.5 M) per orang tiap tahun. Lalu mereka sedekahkan semuanya hingga habis sebagai bentuk ibadah pada Allah, di sisi lain memberi manfaat pada masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya mereka.
Sebaik-baiknya harta ialah ketika berada di tangan orang sholeh. Kaya dan miskin adalah pilihan, dan praktiknya para sahabat yang kaya banyak. Menariknya dalam konsep Islam sahabat yang memilih hidup miskin tetap bisa memakmurkan bumi, beda dengan budaya kita sekarang.
Kok bisa? Rasul Saw dan Khulafaur Rasyidin selama menjadi pemimpin negara memilih hidup miskin, bukan terpaksa miskin. Namun, apakah mereka memiskinkan rakyatnya? Tidak, mereka miskin untuk dirinya, tapi tetap menyejahterakan rakyatnya. Dalam riwayat Imam Ahmad, hasil wakaf Ali bin Abi Thalib mencapai 4000 dinar (8M). Namun dalam waktu bersamaan Ali sedang mengganjal perutnya dengan batu. Mengapa mereka seperti itu? Karena mereka paham salah satu tujuan diciptakan manusia ialah berperan aktif memakmurkan bumi dengan fasilitas ekonomi.
Istri Rasul Saw lainnya yang juga harus keluar dari rumahnya dalam kondisi tertentu ialah Aisyah. Sejak masa Abu Bakar, Aisyah telah menjadi konsultan para Khulafaur Rasyidin. Sehingga wajar Aisyah ikut berperan dalam menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman di masa pemerintahan Ali yang membuatnya harus keluar dari kota Madinah.
Wanita memang tidak diwajibkan berjihad. Akan tetapi hal itu tak membuat mereka jadi acuh. Meski setelah turun keterangan bahwa wanita tidak wajib berjihad, para shahabiyah tidak diam, mereka protes pada Rasul Saw yang diwakilkan Asma binti Yazid agar tetap bisa berjihad. Dan jawaban Rasul Saw menyatakan bahwa jika seorang istri dan ibu menjalankan perannya di rumah dengan optimal maka pahalanya seperti pahala berjihad di jalan Allah.
Menariknya, meski sudah mendapatkan keringanan itu, para shahabiyah tetap terlibat dalam medan jihad. Banyak wanita yang turun di medan jihad dari masa Rasul Saw sampai Khulafaur Rasyidin. Mengurusi logistik, pengobatan, bahkan ketika keadaan mendesak sampai ikut bertempur. Asma binti Yazid bahkan ikut berperang di Qadisiyah karena perang sangat dasyat sampai ikut melawan musuh dan membunuh sembilan tentara Romawi di Qadisiyah.
Setelah memaparkan bagaimana praktik para shahabiyah dalam mengaplikasikan surat Al Ahzab ayat 33-34, pengurus MIUMI ini menyatakan bahwa tidak tepat jika wanita mutlak harus di dalam rumah dan tidak boleh di ruang publik. Dalam kehidupan ini ada bidang-bidang yang tidak mungkin kosong dari peran wanita. Seperti saat masuk ke tempat umum, ada toilet wanita dan laki-laki, nah yang membersihkan toilet wanita siapa? Begitu juga dengan pasar, perempuan punya hajat untuk membeli kebutuhan pribadi mereka. Termasuk bidang kesehatan apakah tidak perlu dokter kandungan perempuan? Sehingga dalam hal ini, kehadiran wanita di ruang publik pada batasan tertentu tetap dibutuhkan dan wanita tidak sepenuhnya mutlak harus di rumah.
Daurah Shahabiyah ini menjadi pembuka rangkaian Daurah SCI berikutnya, yakni Daurah Pendidikan, dan Daurah Ekonomi yang tentu pembahasannya berlatar Sirah Nabawiyah dan Sejarah Islam. []
Zaili Fitria
Penulis adalah pegiat Sirah Community Indonesia