Hakikat dan Rahasia Ta’awwudz
TA’AWWUDZ selain dianjurkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala juga berfungsi tawadhu dan merendahkan diri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala seraya memohon perlindungan-Nya dari berbagai gangguan, baik dari gangguan manusia maupun dari golongan jin (minal jinnati wan nas).
Al-Qur’an sendiri menyerukan kita membaca ta’awwudz sebelum membaca ayat Al-Qur’an,
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيـم
“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS an-Nahl [16]:98)
Dua ayat terakhir di dalam Al-Qur’an juga menegaskan betapa pentingnya memohon perlindungan pada Allah subhanahu wa ta’ala, yakni memohon perlindungan pada Tuhan alam semesta (qul a’udzu bi Rabb al-falaq) dan Tuhan manusia (qul a’udzu bi Rabb an-nas).
Baca Juga: Bacaan Yasin dan Doa bagi Orang Sakit
Hakikat dan Rahasia Ta’awwudz
Kata istiadzah berasal dari kata al-‘audz yang mempunyai dua arti, pertama, yaitu “kembali ke…” (iltija) atau “berlindung kepada…” (istijarah). Keduaya berarti memohon perlindungan. Kedua berarti “melekat” (iltishaq).
Arti pertama dari audzu billahi berarti “Aku berlindung dengan rahmat dan penjagaan Allah”. Sedangkan yang kedua berarti “Aku lekatkan diriku dengan karunia dan rahmat Allah.
Adapun setan secara harfiah berarti “jauh” (al- bu’d). Semua makhluk yang jauh atau mengambil jarak dengan Tuhan dapat disebut setan. Bisa juga berarti batil (syatha), yakni segala sesuatu yang menyimpang disebut batil karena perilakunya yang merusak kemaslahatan umum dapat disebut setan.
Perilaku setan yang demikian itu disebut terkutuk (ar-rajim). Setan itu disebut terkutuk karena diusir Allah dari alam langit.
Allah memerintahkan para Malaikat untuk melempari setan-setan itu dengan batu meteor yang tajam agar terusir dari langit. Sebab itulah, setiap makhluk yang membangkang dan menyimpang layak disebut setan, pasukan iblis.
Untuk mengimplementasikan ta’awwudz dalam kehidupan nyata ada lima hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Pertama, hakikat mohon perlindungan (al-istiadzah). Kedua, peminta perlindungan (al-musta’idz). Ketiga, Sang Pemberi Perlindungan (al-Mustaadz bihi). Keempat, makhluk yang hendak dijauhi (al-musta’adz minhu), dan kelima, tujuan yang dimohonkan perlindungan (må yustaädzu lahu).
Dikabulkannya permohonan perlindungan tergantung terpenuhinya mekanisme kelima komponen tersebut.
Untuk itu ada tiga hal yang harus hadir di dalam diri seorang pemohon, yaitu ilmu, suasana batin, dan perbuatan nyata.
Seseorang yang memohon perlindungan mengetahui dan sadar bahwa dirinya tidak mampu menolak kemalangan atau mendatangkan kesenangan, dan hanya Allahlah yang Maha Berkuasa mewujudkan dua hal tersebut.
Jika seseorang memiliki kesadaran akan hal tersebut, maka akan terbentuk kondisi batin yang positif dalam dirinya, yaitu sikap rendah hati dan menyadari kelemahan dirinya.
Dengan didasari kesadaran batin semacam itu, maka dalam perilakunya dia akan selalu tunduk dan patuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Begitu juga dengan hati dan lisannya.
Hatinya akan selalu mengarahkannya kembali kepada Allah dan senantiasa memohon perlindungan kepada- Nya dari segala cobaan, sembari berharap karunia dan kebaikan-kebaikan dari-Nya.
Sementara lisannya akan terus menyuarakan permohonan-permohonan tersebut, mengungkapkan semua yang terbetik dalam hatinya. Dalam kondisi seperti inilah isti’adzah betul-betul mendapatkan makna hakikinya, yaitu Audzu billah (Aku berlindung kepada Allah).
Kaitannya dengan shalat dan ta’awwudz sangat erat, karena semakin kuat upaya seseorang untuk naik mendekati Tuhannya semakin besar pengerahan kekuatan iblis untuk menggoda yang bersangkutan.
Itulah sebabnya mengapa shalat yang waktu pelaksanaannya sangat singkat tetapi teramat sulit untuk khusyuk kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan justru di dalam shalat seringkali bermunculan ide-ide cerdas, sehingga jumlah rakaat pun kadang terlupa, terlebih Tuhan yang seharusnya menjadi fokus perhatian kita. Di sinilah pentingnya taawwudz itu.
Meskipun tidak dibaca keras (jahr), kalangan arifin tidak pernah meninggalkan membaca ta’awwudz sebelum mebaca surah al-Fatihah, karena mereka merasa lebih dekat, mesra, dan dalam genggaman Tuhannya.
Dengan ta’awwudz shalat mereka bisa lebih khusyuk karena sudah mengikrarkan penyerahan diri dan perlindungan kepada Tuhannya sebelum lebih lanjut melaksanakan rangkaian shalat.
Perlu diingat bahwa shalat adalah pendakian (mi’raj) seorang mukmin kepada Tuhannya. Iblis dan pasukannya paling membenci orang yang akan mi’raj, karena itu mereka akan mengusahakan berbagai cara agar pendakiannya gagal mencapai orbit yang dituju dengan melakukan berbagai serangan; baik menggunakan kekuatan mereka sendiri atau menggunakan kekuatan orang lain, sebagaimana diisyaratkan dalam surah an-Nas.
Dalam pandangan tasawuf, ta’awwudz lebih merupakan penyerahan diri total kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketimbang memohon perlindungan dari setan.
Al-Qur’an mengingatkan kita agar saat hendak membaca Al-Qur’an selalu membaca taawwudz, sebagaimana dinyatakan dalam ayat,
وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan.” (QS al-Mu’minûn [23]: 97)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga yang selalu didampingi para malaikat saja masih mencontohkan kepada umatnya betapa pentingnya memohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, terutama kepada daya tarik dan godaan setan.
Kita diingatkan untuk selalu membaca ta’awwudz sebelum melakukan sesuatu.
Hakikat istiadzah hanya akan diperoleh seseorang yang mengetahui dirinya dan Tuhannya. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan akan kebesaran Tuhannya dan kelemahan dirinya sebagai manusia, maka dia tidak pantas untuk memohon perlindungan Allah subhanahu wa ta’ala.
Hal itu karena manusia itu dinilai berdasarkan salah satu dari dua hal yang ada pada dirinya, yaitu ilmu atau perbuatannya.
Orang yang tidak memiliki pengetahuan akan kebesaran Tuhannya dan kelemahan dirinya sebagai manusia, maka tidak mungkin mampu melakukan sesuatu yang menunjukkan ketundukannya pada Tuhannya.
Ini artinya orang tersebut tidak berilmu dan tidak beramal, karena tanpa ilmu tentu amal akan kehilangan makna.
Mengapa manusia perlu memohon perlindungan Allah dari kesalahan, godaan setan, dan sebagainya?
Hal itu karena manusia tidak bisa hanya berpegangan pada fitrah kemanusiaannya, atau kepada hukum alam semata.
Manusia butuh perlindungan dari Tuhannya dari hal-hal yang tidak diinginkannya. Betapa banyak para ulama dan cendekiawan yang tidak mampu memecahkan persoalannya sepanjang hidup mereka menjadi contoh dalam hal ini.
Persoalan yang mereka anggap benar, ternyata suatu saat kemudian terbukti keliru. Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan terpecah-pecahnya umat, karena masing-masing merasa paling benar berdasarkan keyakinannya, dan yang lain sesat.
Padahal, kebenaran bukan pada pikiran masing-masing orang. Kebenaran hakiki hanya ada pada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena itu, manusia butuh memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Bijak, Pencipta manusia dan jin.
Setiap orang dalam setiap keadaan dan kedudukan, menghadapi setannya sendiri yang sesuai dengan keadaannya. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin kuat pula godaannya.
Itulah makna istiadzah yang selalu diperingatkan Allah subhanahu wa ta’ala dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam Tafsir Asy-Syairazy disebutkan bahwa di dalam diri kita sesungguhnya laksana memiliki neraka jahanam yang memiliki 19 pintu: 5 panca indera lahir, 5 panca indera batin, 2 kekuatan syahwat dan amarah, serta 7 kekuatan alami.
Meskipun 19 pintu itu sama pada setiap orang, namun pengaruhnya berbeda pada masing-masing orang.
Banyak hal yang dapat memengaruhi fungsi 19 pintu tersebut, yang kemudian juga memengaruhi kondisi hati seseorang.
Bahkan tak jarang fungsi 19 pintu tersebut membelokkan hati manusia dari alam ruhani ke alam jasmani belaka.
Jika demikian, maka untuk menyelamatkan hati agar selalu bersih dan terhindar dari kegelapan, tidak ada jalan lain selain memohon perlindungan dan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith thoriiq
Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I