APA itu metode rukyat hilal dan hisab dalam penentuan awal lebaran? Terkait perbedaan metode tersebut, tidak jarang menyebabkan perbedaan waktu penetapan 1 syawal atau awal lebaran. Namun, tahukah kamu bahwa keduanya sama-sama memiliki landasan hukum atau dalil yang kuat?
Baca Juga: Pantau Hilal di 123 Lokasi, Ini Jadwal Sidang Isbat Lebaran dan Lokasi Pemantauan
Mengenal Metode Rukyat Hilal dan Hisab dalam Penentuan Awal Lebaran
Ada sebuah tulisan yang ditulis oleh Drs. Baidhowi, HB., S.H. tentang kedua metode tersebut. Bila kita berbicara soal perbedaan pendapat, barangkali tak pernah kunjung selesai sampai kapan pun.
Sekadar ilustrasi, ada baiknya penulis urai perbedaan-perbedaan yang mengemuka dengan kriteria-kriteria tertentu yang digunakan sebagai penentu awal bulan pada kalender hijriyah selama ini sebagai berikut :
1. Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentu awal bulan kalender hijriyah dengan cara merukyah (mengamati) hilal secara langsung.
Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini berpegangan pada hadits Nabi Muhammad :
“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, jika terhalang maka genapkanlah (istikmal).”
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasul dan para sahabatnya serta mengikuti ijthad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan hijriyah.
2. Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah dengan menggunakan dua prinsip : Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal qhurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset).
Maka, pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) hijriyah, tanpa melihat berapa pun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk setiap tahunnya.
Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria Wujudul Hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyah.
Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, tetapi hisab wujudul hilal dapat dijadikan penetapan awal bulan hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al Qur’an pada Q.S.Yunus : 5. QS.Al Isra’: 12, QS.Al An’am : 96, dan QS. Ar Rahman : 5 serta penafsiran Astronomis atas QS. Yasin : 36 – 40
3. Imkanur – Rukyat
Imkanur rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darusssalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah dengan prinsip awal bulan (kalender) hijriyah terjadi jika :
1. Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) bulan di atas cakrawala minimum 2 derajat, dan sudut elongasi (jarak lengkung) bulan-matahari minimum 3 derajat, atau
2. Pada saat bulan terbenam, usia bulan minimum 8 Jam, dihitung sejak ijtima’.
Secara bahasa Imkanur-rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur-rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab. Terdapat 3 kemungkinan kondisi :
a. Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
b. Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab dalam kondisi ini sepakat.
c. Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat . Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara Rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala/ufuq.
Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat, maka awal bulan telah masuk malam itu. Methode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini. Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H/2011 M
4. Rukyat Global
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah yang menganut prinsip bahwa : Jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.
Sebagai akibat dari perbedaan metode penentuan kriteria inilah yang seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan yang berakibat pula adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia perbedaan tersebut pernah beberapa kali terjadi. Misal pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari Raya Idul Fitri pada hari Jum’at 3 April 1992 mengikuti Arab Saudi. Ada yang hari Sabtu 4 April 1992 sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang hari Minggu 5 April 1992 dengan mendasarkan pada Imkanur-rukyat.
Penetapan awal Syawal juga pernah terjadi perbedaan pendapat yaitu pada tahun 1993, 1994 dan yang sangat menarik sebagaimana yang terjadi perbedaan penetapan awal Syawal 1432 H ( 2011 M), bahwa sidang isbat memutuskan awal Syawal jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011.
Sementara di kalangan Muhammadiyah tetap pada pendiriannya awal Syawal jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011. Sementara menurut metode hisab posisi hilal di seluruh Indonesia saat itu sudah berada diatas ufuq antara 0 – s/d 2 derajat.
5. Hisab
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.
Secara harfiah, hisab berati perhitungan. Dalam dunia Islam, istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.
Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah.
Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat memulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fitri), serta awal Dzulhijjah untuk menentukan saat jama’ah haji wuquf di ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Di dalam Al-Qur’an Surat Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa Allah sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya.
Selain itu, dalam Surat Ar Rahmaan (55) ayat 5 menyebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan), maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi.
Astronom muslim yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973 – 1048 M ), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani dan Habasah.
Bahkan dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (sofwere) yang praktis juga telah ada.
Itulah penjelasan tentang metode rukyat hilal dan hisab serta beberapa metode yang pernah menjadi penentuan awal bulan baru. Intinya, semua metode yang dilakukan memiliki landasan dalil yang kuat.
Oleh sebab itu, kita tidak perlu merasa siapa yang paling benar dan salah. Mari saling menghargai pendapat masing-masing individu. [Cms]
Sumber: ms-aceh.go.id