KHALIFAH atau pengganti kepemimpinan umat Islam setelah Rasulullah wafat ada empat orang. Orang pertamanya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, umat Islam bersepakat kepemimpinan diteruskan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Hari-hari setelah pengangkatan itu, Abu Bakar melayani umat dengan begitu baik. Ia fokuskan waktu dan tenaganya untuk mengurus umat.
Suatu kali, Abu Bakar seperti melihat ada yang aneh di rumahnya. Seperti ada ‘gangguan stabilitas’ di dunia dapur rumahnya.
“Apa kita tak lagi punya persediaan bahan makanan?” tanya Abu Bakar kepada istrinya.
Istrinya menjawab kalau persediaan makanan sudah habis. Hal ini karena tak ada pemasukan sejak Abu Bakar tak lagi berdagang karena sibuk mengurus umat.
Saat menjadi saudagar dahulu, kekayaan Abu Bakar mencapai 40 ribu dirham atau senilai 2,4 milyar rupiah. Tapi saat itu, ia merasa sangat pas-pasan.
Sejak itulah, Abu Bakar memutuskan untuk kembali berdagang. Ia menjual baju dan kurma di pasar. Ia tak merasa malu berdagang di pasar meski sudah menjadi khalifah.
Masalah lain menyusul setelah Abu Bakar menghabiskan hari-harinya di pasar. Yaitu, umat merasa kehilangan sosok khalifahnya. Padahal, problematika umat begitu besar dan membutuhkan keputusan cepat.
Para sahabat pun mengadukan hal ini ke Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Umar pun menemui Abu Bakar.
Setelah bermusyawarah dengan para sahabat senior dan bersama bendahara yang saat itu dijabat Abu Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu ‘anhu, akhirnya disepakati untuk memberikan gaji kepada khalifah.
Pertanyaannya, berapa gaji yang pantas untuk khalifah saat itu? Umar mengusulkan sebesar 5 ratus dirham sebulan, atau 6 ribu dirham setahun. Nilai itu sekitar 30 juta per bulan atau 360 juta per tahun.
Tapi, Abu Bakar menilai kalau angka itu terlalu besar. Sejak itu, sudah ada anggaran untuk menggaji khalifah agar ia bisa fokus mengurus umat.
**
Inilah sejarah awal bangunan Islam yang tidak dibangun atas dasar kekuasaan, tapi karena pelayanan. Yaitu, pelayanan untuk kemaslahatan umat.
Pemimpinnya ikhlas, tidak mengharapkan kepentingan materi, kecuali semata-mata untuk umat. Kalau tidak ada anggaran, ia mencari dengan jerih payah tangan sendiri. Kalau ada anggaran, ia tidak ingin menghabiskan kecuali sekadar kebutuhan dasar.
Kalau saja semua pemimpin Islam seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Dan, kalau saja umat seperti Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu; insya Allah, amanah kepemimpinan akan tertunaikan dengan baik. [Mh]