DI MEDIA sosial sedang ramai curhatan seorang perempuan yang menceritakan aib mantan suami. Mantan suaminya ini pernah menjadi tokoh kepemudaan sebelum beralih ke politik.
Penulis buku Journey to the Light, Uttiek M. Panji Astuti, dalam tulisannya berjudul “Terpercik Muka Sendiri” mengomentari tentang hal ini.
“Barangkali bukan soal curhatannya yang membuat ramai, namun figur mantan suaminya menjadi bahan bakar ghibah yang “sedap”,” tulisnya dalam akun [email protected]), (23/02/2023).
Segala hal buruk yang terjadi dalam 17 tahun pernikahan mereka diumbar ke publik.
Tidak perlu menelusuri curhatan siapa yang dimaksud, karena tidak penting dan hanya akan membuat setan semakin menari-nari bergembira.
Menceritakan aib suami/istri, sejatinya sedang menelanjangi diri sendiri. Karena suami-istri ibarat cermin. Bagaimana buruknya pasangan adalah cerminan diri.
Pun kalau ada masalah berat yang tak tertahankan lagi, selesaikan sesuai panduan syariat. Islam telah mengatur semuanya dengan sangat sempurna. Tanpa perlu mengumbar aib ke mana-mana.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengungkapkan dengan jelas, “Tidaklah seorang hamba menutupi (aib) seorang hamba (yang lain) di dunia melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.” [HR Muslim].
Baca Juga: Susah Move On dari Mantan? Ini Saran Dari Ustaz Salim A Fillah
Sebagaimana kisah ulama Abu Ja’far Ahmad bin Mahdi bin Rustam yang ditulis dalam kitab “Shifat al-Shafwah”.
Suatu hari Sang Alim didatangi seorang perempuan yang mengadukan masalahnya, “Aku anak perempuan dari orangtua biasa. Aku dilanda musibah. Aku mohon padamu, atas nama Allah, tutupilah aibku.”
“Apa musibahmu?” tanya Ahmad bin Mahdi.
“Sungguh aku membenci diriku. Aku sekarang hamil. Aku ceritakan pada orang-orang bahwa engkaulah suamiku, dan hamil ini darimu. Tolong jangan permalukan aku. Tutupilah aibku. Semoga Allah menutupi aibmu,” pinta perempun itu dengan tertunduk malu.
Menceritakan Aib Mantan Suami Bagai Memercik Air ke Muka Sendiri
View this post on Instagram
Setelah merenung lama, ulama itu menyanggupi. Saat bayi itu lahir, banyak penduduk kampung yang datang dan memberikan ucapan selamat.
Tak lama, Sang Imam menemui tetua kampung dan mengatakan, “Aku dan dia telah bercerai. Tolong berikan uang ini padanya untuk dibelanjakan keperluan anaknya,” katanya sambil menyerahkan uang dua dinar.
Begitu terus setiap bulan, Ahmad bin Mahdi mengirimkan uang dua dinar melalui tetua kampung. Hingga suatu kali tetua kampung mengabarkan kalau anak itu meninggal dunia.
Beberapa waktu kemudian, perempuan itu menemuinya untuk menyerahkan sekantung besar uang dinar yang selama ini dikirimkan Ahmad bin Mahdi. Rupanya uang tersebut tak pernah digunakannya.
Namun Ahmad bin Mahdi menolak, “Uang itu telah kuberikan pada bayimu. Engkau berhak menggunakannya.”
Sambil menangis, perempuan itu berkata, “Aku telah bertaubat atas semua dosa yang pernah kulakukan. Semoga Allah menutupimu aibmu sebagaimana engkau telah menutupi aibku.”
Kalau pada aib orang lain pun kita diperintahkan untuk menutupnya, bagaimana dengan aib keluarga? Membuka aib keluarga ibarat kata pepatah, “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri”.
Apa yang sedang ramai di sosial media, tak perlu ikut berghibah, tapi jadikan itu sebagai ibrah.[ind]