SEORANG menteri Inggris melakukan shalat di Masjid Al-Aqsha pada Kamis (12/1) lalu. Berita pun menyebar dan begitu menarik banyak kalangan.
Sebuah berita tergolong langka. Seorang menteri kerajaan Inggris, Thariq Ahmad, tampak melakukan shalat sendirian di Masjid Al-Aqsha.
Kunjungan menteri muslim Inggris ke Yerusalem itu dalam rangka pertemuan dengan Menlu Israel, Eli Cohen sehari sebelumnya.
Awalnya, sang menteri mendapatkan pemeriksaan ketat di dekat Masjid Aqsha oleh aparat Israel. Tapi setelah menunjukkan semacam surat tugas dari sang Menlu Israel, ia pun bisa masuk dan shalat di Masjid Al-Aqsha.
Menteri negara urusan Timur Tengah Inggris ini memang sedang melakukan pembicaraan pasca terbentuknya kabinet Netanyahu awal Januari lalu.
Dikabarkan, menteri keturunan Pakistan ini mendukung status quo Masjid Al-Aqsha yang tidak berada di tangan kekuasaan Israel selama ini. Melainkan, di bawah penguasaan negara-negara Arab yang dikuasakan ke Yordania.
Menarik, memang. Bagaimana mungkin Inggris bisa tampil dengan sosok yang lain dari yang lain. Terlebih lagi dengan hal yang menyangkut urusan yang begitu prinsip: Israel dan Palestina.
Prinsip karena penguasaan Israel terhadap Palestina merupakan ‘hadiah’ dari Inggris pasca kemenangan sekutu di perang dunia pertama.
Kedua, bisa dibilang, ‘anak tiri’ hasil ‘perkawinan’ antara Inggris dan Amerika adalah Israel. Rasanya, tidak mungkin Inggris berada berseberangan dengan Israel dan Amerika.
Namun jika menelisik lebih jauh tentang sosok Thariq Ahmad, sebagian puzzle itu bisa terbaca. Antara lain, Thariq Ahmad berasal dari latar belakang muslim yang bukan umumnya. Ia berasal dari muslim Ahmadiyah.
Kedua, sang menteri bukan sosok baru yang menangani urusan Timur Tengah yang kental dengan nuansa umat Islam. Ia juga pernah bertugas sebagai pejabat yang khusus menangani propaganda terorisme yang berlabel Islam.
Rasanya, kemunculan Thariq Ahmad yang shalat sendirian di Al-Aqsha masih menyimpan misteri. Boleh jadi, itulah ramuan baru Amerika Inggris dalam ‘mempoles’ bahasa diplomasi ke Timur Tengah tentang ‘liarnya’ diplomasi Netanyahu. Khususnya terhadap Masjid Al-Aqsha.
Sekiranya sang mentri shalat berjamaah di Al-Aqsha. Dan lebih mantap lagi jika shalat Jumat berjamaah bersama kaum muslimin Palestina.
Kadang, apa yang ditampilkan kamera bisa bermakna lain. Dan kamera dalam politik bisa menjadi kemasan menarik terhadap apa yang akan ‘dijual’. [Mh]