MUSUH bagian dari ujian hidup umat Islam. Musuhnya macam-macam. Ada setan yang memperdaya, ada munafik yang menyusup, dan ada Israel yang menantang perang akhir zaman.
Kadang ada yang tidak logis terlintas tentang keberadaan Israel di bumi Palestina. Jumlahnya sedikit di banding umat Islam di sekelilingnya, wilayahnya hasil rampasan; tapi kenapa mereka bisa tidak takut.
Justru, yang terkesan begitu takut ada pada pihak umat Islam sendiri. Kecuali satu entitas kecil yang terbukti paling depan menantang kecongkakan Israel, yaitu mujahidin Gaza.
Tentang takut ini, mungkin ada relevansinya dengan takut terhadap jin. Imam Ibnu Katsir pernah menafsirkan salah satu ayat di Surah Jin: ada pemimpin manusia yang minta perlindungan dari pemimpin jin.
Menurut Ibnu Katsir, sejak manusia ada di bumi ini, jin begitu takut dengan manusia. Kalau kelompok manusia menetap di sebuah lembah, maka semua jin kabur meninggalkan lembah. Hal yang sama di gunung, hutan, tepian sungai, dan lainnya.
Keadaan berubah seratus delapan puluh derajat atau sebaliknya. Yaitu, ketika seorang pemimpin manusia justru minta perlindungan kepada pemimpin jin.
Saat itulah kaum jin menyadari kalau selama ini bukan mereka saja yang takut dengan manusia. Manusia pun takut dengan jin.
Adu mental pun terjadi. Siapa yang lebih berani dan siapa yang lebih penakut. Dan karena ada yang minta perlindungan itu maka jin pun meyakini bahwa mereka lebih berani.
Hal yang sama dengan keberadaan Israel saat ini. Karena dari sudut pandang mana pun, entitas Yahudi penjajah itu tidak pantas menjadi tuan di tanah milik orang lain.
Kalau saja semua umat Islam yang tinggal di sekitar Yerusalem marah seperti yang ditunjukkan pemuda Gaza, rasanya Israel juga akan takut, setidaknya was-was.
Tapi karena pemimpin umat Islam di sekitar itu justru minta perlindungan dengan jaringan lobi Israel, maka mereka pun menjadi sangat berani.
Kalau mau bercermin dari sejarah, apa yang dimiliki pasukan Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhum sehingga mampu membebaskan Al-Quds. Jumlah mereka hampir sama dengan musuh yang berkuasa di Yerusalem. Begitu pun dengan senjatanya.
Hal yang sama terulang di masa Shalahuddin Al-Ayyubi lima abad kemudian. Yerusalem kembali bisa dibebaskan dari penguasaan musuh.
Yang dimiliki kedua pemimpin itu beserta mujahidin yang berjuang bersama mereka adalah karena mereka tidak wahan: tidak cinta dunia dan tidak takut mati.
Hal inilah yang tidak dimiliki para pemimpin umat Islam saat ini. Sebaliknya, mereka begitu mencintai dunia dan sangat takut dengan risiko kematian.
Dari mana bisa menyimpulkan keadaan para pemimpin seperti itu? Lihatlah istana-istana mereka. Lihat pula kecenderungan atau hobi mereka.
Bandingkan dengan Umar bin Khaththab dan Shalahuddin Al-Ayyubi. Keduanya tidak memiliki istana. Dan keduanya selalu di garis depan agar bisa mereguk pahala syahid.
Kalau itu dipotretkan ke diri kita masing-masing, maka saatnya tentang wahan itu menjadi muhasabah kita.
Apakah kita tidak lagi cinta dunia, dan apakah kita sudah berani mereguk pahala syahid? Jika belum, rasanya Al-Quds masih akan terus diinjak-injak Israel dan antek-anteknya. [Mh]