MASA depan anak bisa jadi energi untuk keharmonisan keluarga. Penelope Leach, seorang psikolog, menyatakan bahwa ada dampak yang sangat besar dalam sebuah perceraian.
Ketika anak-anak masih kecil, pemikiran mereka belum cukup berkembang untuk memahami mengapa orang tua mereka berpisah dan mengapa mereka harus memilih untuk ikut ayah atau ibu.
Menurut Leach, anak-anak selalu berpikir, perpisahan itu adalah kesalahan mereka. Anak-anak cenderung menyalahkan diri mereka atas perceraian orang tuanya.
“Seorang gadis kecil pernah mengatakan pada saya: Mereka berpisah pasti karena saya bukan anak laki-laki,” ujar Leach.
Anak tersebut menganggap bahwa orang tuanya ingin anak laki-laki, dan berpikir bahwa itu adalah kesalahan dirinya karena lahir sebagai anak perempuan.
Sementara itu, anak-anak lain yang ditangani oleh Penelope mengatakan bahwa mungkin ayahnya berpisah dari ibu karena menganggap sang anak nakal dan tidak bisa diam.
Sedangkan anak lainnya berpikir orang tuanya bercerai karena dirinya sering bangun terlalu pagi.
Jika perasaan bersalah ini tertanam dan terbawa hingga dewasa, akan menjadi gangguan tersendiri dalam kehidupan mereka.
Baca Juga: Jika Menikah Pintu Rezeki, Kenapa Terjadi Perceraian karena Ekonomi?
Masa Depan Anak Bisa Jadi Energi untuk Keharmonisan Keluarga
Anak-anak yang pada dasarnya tidak bersalah atas perceraian itu, ikut menanggung beban berat akibat perceraian orang tua.
Dalam batas tertentu, bahkan mereka bisa menghukum diri sendiri atas perasaan bersalah tersebut. Hal ini semakin buruk bagi kehidupan anak-anak.
Sangat banyak jeritan hati anak-anak yang menjadi korban perceraian orang tua mereka.
Konselor Keluarga Cahyadi Takariawan merasa mencukupkan dengan tulisan Mbak Ella Zulaeha di Kompasiana beberapa waktu lalu.
Berikut petikan tulisan mbak Ella yang bertajuk Jeritan Hati Anak Korban Perceraian:
“Papa, mengapa kau pergi meninggalkan kami? Mengapa kau tega membiarkan kami hidup penuh dengan derita dan airmata?
Aku tak pernah membayangkan sedikitpun bahwa perceraian yang menimpa kehidupan kalian akan menjadi trauma yang begitu dahsyat dalam jiwaku? Bagaikan sebuah mimpi buruk yang menghiasi perjalanan hidupku.
Masih terbayang jelas dalam ingatanku, saat mama berurai airmata mendengar keputusanmu untuk bercerai darinya.
Tak terlukiskan duka yang dalam terpancar dari sosok wanita yang dulu sempat kau cintai.
Sejak kecil aku tidak pernah percaya diri di tengah lingkunganku.
Aku terkungkung dalam ketakutan besar bahwa mereka di luar sana akan menyakitiku, aku sangat membutuhkan sosok pelindung dalam kehidupanku dan itu tak pernah aku dapatkan darimu.
Di saat aku tumbuh remaja, rasa tak percaya diri itupun tak pernah hilang dari diriku. Tak tahukah kau papa, mengapa aku dulu begitu ketakutan saat ada seorang pria menyatakan cintanya kepadaku.
Aku sungguh takut! Takut pria itu nantinya akan berbuat hal yang sama sepertimu, pergi meninggalkan aku. Trauma itu hingga kini masih tertanam di benakku. Aku tak pernah mempercayai pria manapun.
Rasa nyaman yang selama ini aku impikan dari seorang yang kelak menjadi pendamping hidupku tak kunjung aku temukan.
Hubungan demi hubungan yang kujalin selalu kandas di tengah jalan. Aku tumbuh menjadi wanita yang tak pernah bisa mempercayai pasanganku.
Kecurigaan, kecemburuan dan rasa frustasi selalu menghantui pikiranku.
Hal ini sungguh menjadi beban bagi hidupku makin bertambah. Harus kemanakah aku untuk menyembuhkan trauma ini, Papa?”
Masyaallah, miris membaca jerit tangis anak-anak seperti yang dituliskan Mbak Ella. Trauma berkepanjangan bisa dirasakan anak yang menjadi korban perceraian orang tua mereka.
Pada anak perempuan, mereka takut bahwa ketika menikah akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan ibu mereka. Anak-anak ini khawatir bahwa semua laki-laki jahat, seperti bapak mereka.
Pada anak laki-laki, mereka menjadi kehilangan figur yang bisa dipercaya.
Mereka kehilangan pegangan dan contoh teladan dalam kehidupan.
Ayah dan ibu yang sangat dibanggakan dan diidolakan oleh anak-anak, tiba-tiba menjadi sosok yang tidak ramah bagi mereka.
Apalagi pada anak remaja yang mengikuti proses persidangan cerai orang tua mereka, suasana persidangan yang saling melontarkan sisi kesalahan pasangan akan semakin melukai anak-anak.
Sangat dalam membakas pada anak-anak itu, saat ayah dan ibu mereka menyatakan berbagai kesalahan dan kekurangan pasangan di persidangan. Sesuatu yang mereka sama sekali tidak ingin mendengarkannya.[ind]
Sumber: Jogja Family Center Channel