ISLAM bukan identik dengan orang Arab. Islam datang sebagai rahmat untuk seluruh alam.
Ada yang mengatakan bahwa Islam merupakan budaya Arab. Karena itu, orang pun mengatakan bahwa harus ada penyesuaian ajaran Islam ke budaya lokal.
Dari pemikiran ini, tidak sedikit yang bingung mana yang dianggap ajaran Islam dan mana yang budaya Arab. Karena Islam bisa ‘masuk’ di mana saja, tapi budaya Arab belum tentu.
Sebegitu bingungnya, ada yang mengganti ucapan ‘assalamu’alaikum’ dengan ucapan salam budaya lokal. Misalnya, selamat pagi, selamat siang, dan selamat malam. Dalam versi orang Barat mungkin lain lagi.
Bahkan, ada negara yang pernah mengganti lafaz azan dengan bahasa lokal. Bayangkan jika ada umat Islam dari negara lain mendengar azan lokal itu, tentu mereka akan bingung.
Rasulullah bukan Mengarabkan Islam, tapi Mengislamkan Arab
Satu hal prinsip yang kadang disalahpahami adalah misi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali bukan mengarabkan Islam.
Misalnya, busana gamis yang menjadi budaya di Arab. Ketika Rasulullah selalu mengenakan gamis, bukan berarti Rasul sedang menjadikan budaya Arab itu sebagai ajaran Islam.
Jika ditelisik lebih jauh, banyak juga para sahabat Rasulullah yang tidak mengenakan gamis seperti Rasul. Mereka ada yang mengenakan busana atas bawah. Dan tidak sedikit para sahabat yang mengenakan itu.
Bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu hanya mengenakan kain sarung dalam melaksanakan shalat.
Menurutnya, bukan busana gamisnya yang diharuskan, tapi menutup auratnya. Dan batasan aurat untuk pria ketika shalat adalah pusat hingga lutut.
Rasulullah pun tidak menyalahi mereka yang tidak mengenakan gamis. Rasulullah memilih gamis karena lebih tertutup dan praktis dalam memakainya.
Justru Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang para sahabat mengenakan pakaian syuhrah. Apa itu pakaian syuhrah? Yaitu, pakaian yang tampil beda dengan budaya setempat.
“Siapa yang mengenakan pakaian syuhrah, maka Allah akan memakaikannya pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Syaikh Utsaimin, selevel dengan ketua MUI di Arab Saudi, memfatwakan bahwa mencocoki kebiasaan masyarakat yang bukan keharaman adalah disunnahkan. Karena menyelisihi yang bukan kebiasaan setempat menjadi hal yang syuhrah. Dan hal itu terlarang dilakukan.
Begitu pun dalam hal kubah masjid. Tidak mesti semua tempat harus sama persis seperti yang di Arab.
Pendek kata, umat Islam bisa membedakan mana yang ajaran Islam dan mana yang budaya lokal. Seperti, menutup aurat itu wajib, sementara busana untuk menutupnya bisa dengan pakaian apa saja.
Tapi, jangan karena ingin membumikan Islam sehingga bacaaan shalat dilakukan dengan bahasa lokal. Karena bacaan shalat merupakan ajaran Islam dan bukan budaya lokal yang bisa disesuaikan.
Kenapa Al-Qur’an dan Hadits dengan Bahasa Arab
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Begitu pun dengan hadis yang menjadi rujukan umat Islam sedunia.
Hal ini bukan berarti karena Islam sebagai produk kearab-araban. Tapi karena ada hikmah yang jauh lebih besar dari penggunaan bahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan bahasa tertua yang level bahasanya melampaui bahasa mana pun di dunia ini. Bahasa Arab juga tidak pernah berubah-ubah sepanjang zaman sejak masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bandingkan dengan bahasa Indonesia. Ada yang disebut ejaan lama. Dan ada yang disebut dengan EYD atau ejaan yang disempurnakan. Begitu pun dengan bahasa Inggris dan lainnya. [Mh]