USTAZ, mau tanya, misal si suami koruptor si istri tahu, bagaimana hukum uang belanja istri yang berasal dari hasil korupsi suami? Bukankah itu si istri tidak boleh memakannya?
Pengurus PP Al Irsyad Al-Islamiyah Ustaz Farid Nu’man Hasan, S.S., M.Kom.I. menjelaskan bahwa penghasilan haram bagi pelakunya ada dua jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Pekerjaan yang mengambil hak atau harta orang lain atau lembaga, seperti korupsi, mencuri, mencopet, merampas, dan semisalnya.
2. Pekerjaan yang haram namun tidak ada pengambilan harta orang lain secara tidak hak, seperti hasil dari zina, jual khamr, riba, dan sejenisnya.
Harta hasil korupsi -sebagaimana hasil curian, merampok, mencopet- adalah milik pihak lain, baik perorangan atau lembaga, bukan milik si pelaku korupsi tersebut.
Maka, tidak dibenarkan seseorang memanfaatkannya, baik pelakunya dan orang lain, yang mesti dilakukan adalah mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya baik perorangan atau lembaga.
Baca Juga: Maksiat yang Tampak Indah dan Samar
Hukum Uang Belanja Istri dari Hasil Korupsi Suami
Memakan harta milik orang lain secara tidak hak termasuk sebab bangkrut di akhirat dan dimasukkan seseorang ke dalam neraka, sebagaimana hadis:
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bertanya:
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?”
Para sahabat menjawab,
“Muflis itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”
Tetapi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata:
“Muflis dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci ini, menuduh orang lain (tanpa hak), makan harta si anu, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak).
Maka orang-orang yang menjadi korbannya akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka (korban) akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka”.
(HR. Muslim No. 2581)
Imam Al Maziri Rahimahullah menjelaskan:
إِنَّمَا عُوقِبَ بِفِعْلِهِ وَوِزْرِهِ وَظُلْمِهِ فَتَوَجَّهَتْ عَلَيْهِ حُقُوقٌ لِغُرَمَائِهِ فَدُفِعَتْ إِلَيْهِمْ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَلَمَّا فَرَغَتْ وَبَقِيَتْ بَقِيَّةٌ قُوبِلَتْ عَلَى حَسَبِ مَا اقْتَضَتْهُ حِكْمَةُ اللَّهِ تَعَالَى فِي خَلْقِهِ وَعَدْلِهِ فِي عِبَادِهِ فَأُخِذَ قَدْرُهَا مِنْ سَيِّئَاتِ خُصُومِهِ فَوُضِعَ عَلَيْهِ فَعُوقِبَ بِهِ فِي النَّارِ
Sesungguhnya dia disiksa karena perbuatan, dosanya, dan kezalimannya sendiri, maka dia mempertanggungjawabkannya atas orang yang pernah menjadi korban kejahatannya dengan mengembalikan haknya,
maka kebaikan-kebaikan dirinya diperuntukan untuk mereka, jika sudah habis maka keburukan mereka yang akan dipindahkan kepada dia sesuai kadarnya, lalu dia dimasukkan ke dalam neraka.
Ini merupakan kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan keadilan-Nya pada hamba-Nya.
(Syarh Shahih Muslim, 6/103)
Maka, bagi istri dan anak jika tahu nafkah yang mereka dapatkan adalah hasil korupsi atau sejenisnya pada hakikatnya juga tidak dibenarkan memakan harta tersebut sebab itu bukan milik suami atau ayah mereka, itu milik orang lain yang diambil secara tidak hak.
Sebisa mungkin mereka menolak, mencari alternatif yang halal, kecuali kondisinya sama sekali tidak ada alternatif, darurat, dan terancam kematian.
Mereka boleh memanfaatkannya sebatas untuk menyelamatkan nyawanya namun harta itu tetap harta yang mesti dikembalikan kepada pemiliknya.
Hal ini berbeda dengan penghasilan haram jenis kedua, yaitu selain korupsi atau mencuri, seperti riba, jual khamr, dan semisalnya, yang mana menurut para ulama itu haram bagi pemiliknya tapi tidak berdosa bagi orang lain yang menerimanya.
Sebab, itu semua adalah milik dia dari usahanya, bukan harta milik orang lain dan tidak ada pihak lain yang dirugikan.
Dzar bin Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhuma bercerita:
جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ،
فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه
Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata:
“Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.” Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia.
(Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, no. 14675)
Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
إذا كان لك صديق
عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه.
“Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! *Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.”
(Ibid, No. 14677)
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:
وأما المحرم لكسبه فهو الذي اكتسبه الإنسان بطريق محرم كبيع الخمر ، أو التعامل بالربا ، أو أجرة الغناء والزنا ونحو ذلك ، فهذا المال حرام على من اكتسبه فقط ، أما إذا أخذه منه شخص آخر بطريق مباح فلا حرج في ذلك ، كما لو تبرع به لبناء مسجد ، أو دفعه أجرة لعامل عنده ، أو أنفق منه على زوجته وأولاده ، فلا يحرم على هؤلاء الانتفاع به ، وإنما يحرم على من اكتسبه بطريق محرم فقط .
Harta haram yang karena usaha memperolehnya, seperti jual khamr, riba, zina, nyanyian, dan semisalnya, maka ini haram hanya bagi yang mendapatkannya saja.
Tapi, jika ada ORANG LAIN yang mengambil dari orang itu dengan cara mubah, maka itu tidak apa-apa, seperti dia sumbangkan untuk masjid dengannya, bayar gaji pegawai, nafkah buat anak dan istri, hal-hal ini tidak diharamkan memanfaatkan harta tersebut.
Sesungguhnya yang diharamkan adalah bagi orang mencari harta haram tersebut. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 75410)
Namun demikian, sikap yang paling utama adalah menghindari secara maksimal semua sumber haram baik hasil haram yang merugikan hak milik orang lain seprti korupsi, mencuri, …
Atau hasil haram yang tidak merugikan harta orang lain.
Sebab, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ
Maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang syubhat, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.
Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di tepi pekarangan, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya.
(HR. Muslim no. 1599)
Jika terhadap yang syubhat saja dianjurkan tetap dihindari maka apalagi yang haram. Demikian. Wallahu a’lam.[ind]