PERDUKUNAN bukan sekadar praktek menyimpang pengobatan. Tapi, sudah merusak berbagai hal. Mulai dari merusak agama, penipuan, dan memunculkan permusuhan.
Setidaknya ada tiga hal buruk yang menjadi dampak dari buruknya praktek perdukunan. Yaitu:
Satu, Merusak Agama Seseorang.
Islam melarang keras praktek perdukunan. Hal ini karena perdukunan menyimpang dari ajaran Islam. Mulai dari akidah, syariah, dan akhlak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Siapa yang mendatangi tukang ramal kemudian ia menanyakan tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 malam.” (HR. Muslim)
Dalam hadis lain, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Siapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan ia membenarkan ucapannya (dukun dan peramal itu), makai a telah kufur dengan Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad)
Dua, Praktek Penipuan.
Dasar dari praktek perdukunan adalah merujuk pada hal gaib, khususnya jin atau setan. Sesuatu yang biasa disebut supranatural atau di luar hal yang biasa.
Karena hal ini tidak bisa disentuh, dirasa, apalagi dilihat; maka kecenderungan penipuannya jauh lebih besar dari benarnya.
Ada pun apa yang seolah-olah ajaib tak lebih dari sekadar praktek sulap dengan alat-alat khusus. Seperti asap buatan, darah buatan, boneka yang disebut jenglot atau tuyul, dan lainnya.
Yang disasar dari penipuan perdukunan adalah nilai uang yang fantastis. Seolah-olah bahwa keajaiban dari perdukunan bernilai mahal. Padahal, hanya menggunakan alat-alat sulap biasa.
Contoh, dukun yang mengaku bisa menggandakan uang. Yang disetor dari korban adalah uang asli, dan yang digandakan dukun adalah uang palsu.
Tidak jarang juga, selain penipuan uang, dukun juga melakukan penipuan lain. Yaitu, penipuan yang dengan modus pelecehan seksual.
Korban yang biasa wanita muda, tidak menyadari atau merasa takut untuk menyadari, bahwa dirinya telah menjadi korban pelecehan seksual.
Tiga, Memunculkan Rasa Permusuhan.
Dukun sebenarnya tidak tahu apa yang menjadi sebab penyakit atau masalah korban. Ia kemudian menggunakan bahasa-bahasa umum yang seolah menjawab masalah atau penyakit korban.
Contoh, dukun mengatakan bahwa penyakit pasien sangat gawat tanpa menjelaskan keadaan organ tubuh yang disebut gawat. Kemudian, dukun juga menyebut orang-orang tertentu yang tidak suka dengan korban. Dan orang-orang inilah yang telah ‘mengirimkan’ penyakit itu.
Ketika korban menanyakan lagi tentang siapa pelakunya. Dukun lagi-lagi menggunakan bahasa umum, misalnya, “Orang dekat. Bisa dari kiri atau dari kanan.”
Dan jawaban inilah yang tanpa disadari oleh korban akan memunculkan prasangka buruk terhadap orang-orang dekatnya. Terlebih lagi, korban sudah memiliki prasangka sebelumnya. [Mh]