EMPATI itu sinyal keprihatinan terhadap orang lain. Kekuatan sinyal ini sejalan dengan tingkat keimanan seseorang.
Cerita tentang kesusahan begitu banyak mengalir di sekeliling kita. Kesusahan karena penyakit, keuangan, musibah, jodoh, kehadiran anak, terkena fitnah, dan lainnya.
Ada dua tingkat reaksi yang terjadi pada diri kita. Reaksi hati, dan reaksi amal. Dua reaksi itulah yang disebut empati.
Reaksi hati ini menjadi penentu apakah akan muncul reaksi amal atau tidak. Orang yang abai dengan kesusahan orang lain menunjukkan keadaan hatinya tidak normal.
Reaksi amal yang dimunculkan dari reaksi hati bisa bermacam-macam. Ada yang masih taraf internal diri orang itu, seperti ikut bersedih, mendoakan, dan mau mendengarkan curahan hati mereka.
Ada juga yang lebih jauh dari itu. Yaitu, membantu yang kesusahan dengan yang ia bisa. Meskipun menurut orang lain bantuannya kecil.
Jadi, empati yang minimal adalah bentuk keprihatinan dalam hati dan dimunculkan dengan ungkapan duka dan doa. Jangan kurang dari itu.
Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita tentang empati.
“Siapa yang melepas satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskannya satu kesusahan di hari kiamat.
“Siapa yang membantu memudahkan urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.
“Siapa yang menutup aib seorang mukmin, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.
“Allah senantiasa menolong hambaNya selama hambaNya itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Hati yang kotor akan memberikan reaksi yang negatif. Bukan sekadar tak peduli, tapi justru menyalahkan. Na’udzubillah min dzalik. Semoga Allah melindungi kita dari hati seperti itu.
Belajarlah untuk selalu berempati dengan orang lain. Kalau tak bisa membantu, jangan beratkan mereka dengan menyalahkan. [Mh]