BIARLAH bumi hancur lebur bagaikan debu. Silakan langit pecah tak ubahnya serpihan kaca. Asalkan, cinta tak menguap dari jiwa.
Cinta tak ubahnya seperti ruh dalam fisik alam raya. Allah subhanahu wata’ala membahasakannya dengan, “Wa rahmatii wasi’at kulla syai-in.” Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. (QS. 7: 156)
Salah satu makna rahmat yang mungkin mudah dipahami adalah dengan arti cinta. Boleh jadi kata itu pula yang menjadi sifat Allah subhanahu wata’ala, yaitu Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Ar-Rahman adalah cinta Allah untuk seluruh jagat raya termasuk umat manusia. Dan Ar-Rahim terkhususkan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman.
Surga yang penuh kenikmatan nan abadi merupakan salah satu dari manifestasi Ar-Rahimnya Allah subhanahu wata’ala.
Nilai Maha Cinta di balik seribu satu rahasia ini kadang sulit dipahami oleh akal manusia yang kadang picik. Manusia begitu terikat dengan panca indra sehingga terhalang menatap dengan jangkauan mata hati.
Seperti halnya musibah kepicikan yang nyaris pernah dialami para sahabat radhiyallahum ajmai’in pasca Perang Hunain.
Harta rampasan perangnya begitu melimpah. Segala rupa seolah ada: unta yang mahal, kuda-kuda perang nan gagah dan terlatih, hewan-hewan ternak yang nyaris tak terhingga, dan lainnya.
Namun, semua habis begitu saja dibagikan Nabi untuk warga Quraisy yang belum lama masuk Islam. Tanpa kecuali semuanya dapat.
Bagaimana dengan para sahabat dari Madinah? Tak satu pun dari mereka yang kebagian dengan jatah super besar itu.
Mereka kasak-kusuk di tempat tersembunyi. Kasak-kusuk membesar dan menyebar. Telinga Nabi pun akhirnya menangkap aroma tak sedap itu.
Apa yang dilakukan Nabi? Rasul mulia itu mengumpulkan semua sahabat dari Madinah. Tak seorang pun yang boleh absen.
Nabi mengatakan, “Apakah kalian lebih ridha pulang bersama hewan-hewan itu daripada pulang bersama Rasulullah?” Nabi pun menekankan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, kelak, akan dimakamkan di tanah Madinah.
Seolah Nabi ingin mengatakan, “Yang aku berikan ke para mualaf dari Mekah itu hanya sejumlah hewan ternak. Sementara yang aku sediakan untuk kalian adalah cinta!”
Tak ayal akhirnya keluar suara sesegukan dari sahabat Anshar. Mereka menangis sejadi-jadinya menyesali kepicikan yang sempat singgah di hati.
Hal yang sama pula ketika seorang anak menafsirkan secara picik larangan dari orang tua. Itu bukan dominasi. Bukan pula wujud ketidakadilan. Melainkan sebuah ungkapan cinta dari orang yang siap berkorban segalanya.
Renungkan semua ketidaknyaman yang dirasakan dari siapa pun yang berlimpah cinta. Renungkan dalam-dalam. Yang terasa tak nyaman itu adalah salah satu bahasa cinta.
Indah nian apa yang pernah disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah mengujinya.” [Mh]