SAYANGI semua yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian.
Islam mengajarkan kasih sayang. Mulai dari sayang kepada semua yang hidup di bumi, terhadap manusia, terhadap mukmin, terhadap tetangga dan kerabat, dan tentu saja keluarga.
Dari sayang kepada keluarga, ada yang paling lemah dalam keluarga yang sayangnya harus lebih. Mereka adalah anak-anak kita.
Orang tua pernah menjadi anak-anak, sehingga mereka paham betul bagaimana ketika menjadi anak-anak. Tapi anak-anak belum pernah menjadi orang tua, sehingga mereka belum memahami bagaimana menjadi orang tua.
Artinya, orang tua lebih dituntut untuk memahami anak. Bukan sebaliknya, anak yang dituntut memahami orang tua.
Kalau ada orang tua yang marah karena anaknya sulit memahami apa yang diinginkan orang tua, itu sama artinya ia kehilangan pengalamannya pernah menjadi anak.
Sayangilah anak-anak karena kita pernah mengalami bagaimana menjadi mereka. Bimbing mereka dengan sabar agar kelak bisa menjadi orang tua yang lebih hebat dari dirinya.
Suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan tamu. Saat itu Nabi sedang bersama cucunya. Nabi menciumi cucunya dengan penuh sayang.
Tamu itu mengatakan, aku belum pernah menciumi anak-anakku. Nabi menasihati, “Sayangilah yang di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.”
Imam Nawawi Al-Bantani mengatakan, yang dimaksud dengan yang di bumi adalalah semua makhluk hidup termasuk hewan, kecuali hewan yang diperintahkan untuk dibunuh oleh Nabi.
Imam Al-Ghazali pernah mengulas hadis ini dengan mengungkapkan tentang mimpinya.
Suatu kali aku bermimpi bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala untuk memeriksa amal-amalku.
Allah mengatakan, “Amalmu tidak ada yang Kuterima. Kecuali satu amal di mana engkau pernah membiarkan seekor lalat hinggap di botol tintamu dan menghisap habis isi tinta itu. Masuk surgalah karena amal itu.”
Putera puteri kita itu jauh lebih baik dari semua hewan terlebih lagi lalat. Mereka pun menjadi tanggung jawab kita untuk dicintai, disayangi, dan dibimbing dengan penuh kesabaran.
Sayangi mereka sebagaimana Nabi menciumi cucu-cucunya dengan kasih dan sayang.
Tunjukkan bahwa kita pernah mengalami hidup menjadi mereka. Bukan menuntut agar mereka bisa memahami kita. [Mh]