TETANGGA memiliki hak terhadap kita. Antara lain, hak memperoleh bantuan, perhatian, persaudaraan, dan kebersamaan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan untuk selalu berbuat baik kepada tetangga. Para sahabat Nabi bahkan begitu takjub dengan perhatian Rasulullah terhadap tetangga, sehingga mereka mengira tetangga akan dapat waris.
Teladan Nabi ini tentu sarat dengan makna. Tetangga diistilahkan sebagai saudara yang paling dekat dengan kita.
Bagaimana pun keadaan tetangga, mereka adalah pihak pertama yang akan dimintai bantuan. Meskipun mereka bukan saudara kita. Bahkan terhadap tetangga yang non muslim.
Nabi mengajarkan bahwa tetangga yang paling prioritas mendapat perhatian adalah yang pintunya paling dekat dengan pintu rumah kita.
Hal ini antara lain karena mereka lebih tahu tentang keadaan dinamika rumah kita. Termasuk ketika memperoleh kelebihan rezeki, seperti masakan, dan lainnya.
Tidak mungkin kita menyembunyikan aroma masakan dari dapur sehingga tidak tercium tetangga. Karena itu, usahakan agar tetangga bisa ikut mencicipi masakan besar apa yang kita nikmati bersama keluarga.
Jika tetangga belum memahami hak dan kewajiban ini, perhatian dan pemberian kita akan menjadi ‘tarbiyah’ tidak langsung untuk mereka.
Tanpa disadari, dengan perhatian dan pemberikan yang kita lakukan, kita sedang mendidik tetangga untuk memahami hak dan kewajiban hidup bertetangga sebagaimana yang diajarkan Islam.
Setelah kita yang terus-menerus memberikan perhatian dan hadiah, para tetangga pun akan membalas kebaikan kita dengan kebaikan pula. Walaupun hal ini bukan menjadi niat kita.
Selain itu, jangan menunaikan hak tetangga karena mereka telah menunaikan hak untuk kita. Artinya, kebaikan yang istimewa adalah ketika dialamatkan terhadap orang yang kurang baik terhadap kita.
Mereka kurang baik atau bahkan jahat terhadap tetangganya lebih karena belum adanya sentuhan hati yang bisa menggugah kesadaran mereka.
Meskipun “menggempur” keburukan tetangga dengan kebaikan seperti ini tidak seperti membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan kesabaran.
Sayangnya, lingkungan perkotaan kian menjauhkan hubungan harmonis antar tetangga. Seperti, pagar yang memisahkan antar rumah yang begitu tinggi dan kokoh. Seolah-olah, di sebelah mereka ada kandang macan.
Selain itu, lingkungan perumahan yang ekslusif juga “menyuburkan” hidup egois antar tetangga. Meskipun bersebelahan dan hidup bertahun-tahun, mereka tidak saling mengenal.
Jangankan saling membantu dan tumbuhnya sikap persaudaraan, saling kenal saja tidak.
Kita tidak sedang tinggal di lokasi yang dikelilingi srigala. Bukan juga tinggal di sarang penyamun. Tapi, tinggal di komunitas manusia yang memiliki akal dan hati.
Bersaudaralah dengan mereka, niscaya mereka pun akan menganggap kita sebagai saudara. [Mh]