SEJARAH memberikan cermin yang menggugah. Sesuatu yang bisa dicapai pada masa lalu berarti bisa juga dicapai saat ini.
Sebuah pemandangan menarik tersaji di sebuah masjid di Magetan Jawa Timur. Seorang remaja belasan tahu mengimami shalat tarawih.
Menariknya, shalat tarawih itu boleh dibilang sebagai shalat tarawih terlama di negeri ini. Kurang lebih sekitar delapan jam.
Shalat dimulai selepas shalat Isya dan berakhir di saat waktu sahur, tak lama menjelang datangnya waktu Subuh.
Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi di zaman yang amburadul seperti saat ini. Ya, ini bukan sebuah imajinasi. Tapi nyata di bulan Ramadan ini.
Remaja yang mengimami shalat itu bernama Hasan Basri. Ia salah seorang dari santri ponpes Tahfiz Al-Fatah, Magetan Jawa Timur. Ustaz Dery Sulaiman mengenalkan sosok remaja itu melalui media sosialnya.
Masya Allah. Hasan Basri sudah hafal 30 juz di saatnya usianya sepuluh tahun. Hanya berselisih tiga tahun dari prestasi yang pernah dicapai seorang ulama besar seperti Imam Syafi’i.
Pemandangan menakjubkan ini memberikan pelajaran tersendiri. Bahwa, sejarah prestasi gemilang umat ini bisa diulang dan diraih kembali saat ini.
Meskipun sebagian besar kita bisa dibilang “terlambat” untuk mengejar prestasi itu. Tapi, setidaknya kita bisa bercermin dari mereka yang masih sangat muda dengan prestasi yang luar biasa.
“Al-Mustaqbal li haadzaddin,” begitu yang pernah ditulis seorang ulama Mesir era tahun lima puluhan, Sayid Qutub dalam sebuah kitabnya.
Beliau mengatakan, “Masa depan di tangan Islam!”
Meskipun kita tidak punya banyak kesempatan lagi untuk mampu meraih prestasi seperti yang diraih Hasan Basri di Magetan. Sekali lagi, kita bisa bercermin dari mereka.
Memang, tidak ada kata terlambat untuk mengejar prestasi agama. Tapi, dengan tenaga dan kesempatan yang tersisa, setidaknya ada niat dan azam untuk bisa berfastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan.
Rumusnya sederhana: mulai lakukan saat ini, dan jangan pernah ada kata nanti, apalagi esok. [Mh]