ChanelMuslim.com – Peran Khadijah, sebagai istri Rasulullah yang pertama dan yang paling berkesan di hatinya, sangat besar di awal turunnya wahyu.
Di tengah ketakutan Rasulullah saat menerima wahyu pertama, serta kecemasan dan kekhawatiran bahwa dirinya akan menjadi dukun, ia pulang ke rumah dan menemui Khadijah.
Sesampainya di rumah, Khadijah membukakan pintu dan pastinya ikut khawatir dengan kondisi Rasulullah yang tampak ketakutan itu. Namun, ia tetap berusah tenang dan tidak bertanya apapun kepada Rasulullah.
Baca Juga: Alasan Dakwah Terbatas Rasulullah di Awal Risalah
Peran Khadijah di Awal Turunya Wahyu Kepada Rasulullah
Khadijah melihat bahwa apa yang dibutuhkan Rasulullah saat itu bukanlah pertanyaan-pertanyaan darinya. Ia langsung menyelimuti Rasul, barangkali itulah yang membuat ketakutannya berkurang. Rasulullah juga berkata, “Zammiluni, zammiluni” (Selimutilah aku, Selimutilah aku)
Hingga pada akhirnya Rasulullah menceritakan sendiri apa yang baru saja ia alami. Ia menceritakan saat wahyu itu turun kepadanya.
Khadijah menyimaknya meskipun sesungguhnya ia juga tidak tahu apa arti dari cerita Rasullah tentang wahyu tersebut.
Sebagai seorang istri, melihat ketakutan Rasulullah itu, ia harus tetap menenangkan suaminya. Ia mengatakan,
“Tidak! Demi Allah, Dia sekali-kali tidak mungkin menghinakanmu. Bagaimana mungkin Dia menghinakanmu, padahal engkau selalu menyambung silaturahim, engkau memikul beban yang lemah, membantu yang tidak berpunya, menjamu tamu, dan menolong siapa yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”
Khadijah sangat paham bahwa Rasulullah adalah orang yang sangat baik. Salah satu buktinya adalah keuntungan dari transaksi Rasulullah yang dilakukan di pasar Madinah pernah ia berikan kepada janda-janda yang ada di keluarganya dari Bani Abdul Muththalib.
Rasulullah selalu memberikan kebaikan kepada keluarga besarnya. Ia juga tidak hanya meringankan beban mereka namun juga menyelesaikannya.
Rasulullah juga sering membantu seseorang yang memiliki kondisi hidup yang sulit. Kesulitan itu lebih besar dari kemampuan hidupnya dan Rasulullah mengambil alih beban beratnya itu.
Inilah yang dimaksud oleh Khadijah, bahwa Rasulullah tidak mungkin dihinakan oleh Allah karena kebaikannya itu.
Setelah Khadijah menenangkannya, ia juga memberi saran untuk bertanya kepada orang lain, karena dirinya juga tidak tahu menahu tentang wahyu tersebut.
Ia menyarankan untuk datang kepada sepupunya yaitu, Waraqoh bin Naufal, seorang Nasrani yang membaca kitab suci injil. “Mungkin ia bisa menafsikan apa yang terjadi pada dirimu,” ujar Khadijah.
Ketika pertemuan itu berlangsung, Khadijah membuka pembicaraan, “Dengarkanlah Wahai Waraqoh.”
Rasulullah kemudian menceritakan apa yang dialaminya. Kemudian Waraqoh mengatakan bahwa yang menemui Rasulullah adalah malaikat Jibril yang pernah bertemu dengan Musa, ia berkata, “Itu adalah Namus.”
Waraqoh melanjutkan, “Andai saja aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu aku akan membelamu sekuat tenaga.”
Rasulullah kaget mendengar perkataan Waraqoh bahwa dirinya nanti akan diusur oleh kaumnya. Raut wajahnya menyiratkan, “Apa salahku hingga kaummkku akan mengusirku.”
Melihat kecemasan Rasulullah, Waraqoh berkata, “Tidak ada orang yang membawa ajaran sepertimu kecuali ia akan disakiti.”
Inilah peran Khadijah terhadap Rasulullah saat menerima wahyu. Setidaknya menguatkan diri Rasulullah bahwa dirinya bukanlah seorang dukun dan wahyu yang turun kepadanya berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala. [Ln]