CINTA dunia menjadi sarana paling berpengaruh yang digunakan setan untuk menarik manusia menjadi sekutunya. Keindahannya menjadi daya tarik untuk melenakan manusia hingga terjerumus pada berbagai macam kejahatan.
Al-Quran telah memperingatkan hal ini dengan memberi sinyal waspada. Dalam surah Ali Imran ayat 185:
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ…
…Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Baca Juga: Makna dari Kebaikan Dunia dan Akhirat
Cinta Dunia Pangkal Segala Kejahatan
Allah memberi perumpamaan cinta dunia ini dengan kata مَتَاعُ yang arti asalnya adalah harta benda. Kesenangan manusia pada harta benda mengelabuinya hingga mampu melakukan segala cara agar mampu membelinya.
Setelah berhasil berada ditangannya, mulailah tampak pengaruh buruk dari harta benda tersebut bagi kehidupan manusia. Awalnya ia tidak menyadari hal itu, karena setan mengelabuinya dengan sangat halus dan cantik.
Ia mulai melupakan Allah. Kenikmatan dunia tidak menjadikannya semakin dekat dengan-Nya. Segala ibadahnya terbengkalai. Saat terjadi masalah, bukan sujud yang ia lakukan namun berbagai maksiat ia terobos untuk melupakan sejenak permasalahnnya.
Belum lagi, cara-cara licik dan curang ia lalui untuk menuntaskan permasalah yang ada dihadapannya. Inilah jika dunia telah menguasai kehidupannya. Dunia menjadi masalah sekaligus menjadi solusi yang tidak pernah menemui penyelesaian.
Dunia (الدُّنْيَا) berasal dari bahasa arab danaa–yudnii yang artinya dekat. Ini dinisbatkan dengan kehidupan (dunia) saat ini yang dekat dengan manusia.
Kata dunia (الدُّنْيَا) juga dinisbatkan dengan masa kehidupan dunia yang singkat atau pendek, jarak awal hingga akhir masanya berdekatan.
Penamaan ini seharusnya menjadi peringatan bagi manusia bahwa ia hanyalah sementara. Waktu yang singkat ini bertujuan untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan usaha meraih kehidupan abadi.
Dalam surah an-Nahl ayat 107:
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا عَلَى ٱلْءَاخِرَةِ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ
Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.
Mencintai kehidupan di dunia dalam ayat ini menggunakan lafadz اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (Istahabbu al-hayata ad-dunyaa). Lafaz istahabbu tidak diartinya sekedar cinta, namun mengandung adanya kesungguhan dan usaha yang besar.
Orang yang sangat mencintai dunia hingga mengorbankan segalanya bahkan keimanannya, masuk dalam kategori orang-orang kafir.
Berkaitan dengan ayat ini Ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata bahwa kehidupan dunia ini ibarat jerat. Kesenangan yang ada di dalamnya di awal tidak tampak membahayakan. Bahkan orang-orang yang awalnya bertaqwa dan selama bertahun-tahun telah menahan pandangannya dari kesenangan dunia yang melenakan ini, pada akhirnya tidak sedikit yang jatuh pula pada perangkapnya.
Banyak alasan, bisa jadi mereka tidak lagi mampu menahan pandangannya itu, dan bisa jadi tameng ataupun batas-batas pengamannya telah rapuh.
Itulah mengapa seorang yang beriman dianjurkan untuk menjauhinya. Bukan berarti mereka tidak bisa merasakan segala kenikmatannya itu akan tetapi ada paradigma berfikir yang harus diubah.
Paradigma berfikir tentang dunia dan segala kenikmatan di dalamnya harus dipandang sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bukan sebaliknya, menjadikannya tujuan dari kesenangan itu sendiri. [Ln]
.