ChanelMuslim.com – Siapapun yang pernah singgah ke Cirebon, hampir bisa dipastikan mengenal dua masjid bersejarah dan bergaya etnik, yaitu Masjid Agung Kasepuhan dan Masjid Kanoman. Keduanya merupakan situs kuno yang berdiri seiring sejarah keislaman di kota perjuangan dakwah Sunan Gunung Djati ini.
Yang pertama berada di lingkungan Keraton Kasepuhan, sedangkan masjid kedua menjadi bagian dari Keraton Kanoman. Namun belum banyak yang tahu, ternyata di pinggiran Kota Cirebon juga berdiri sebuah masjid etnik yang cukup sederhana. Banyak orang menyebutnya “Masjid Bata Merah”, karena penampilan bangunannya yang memang tampak dominan terbuat dari bata merah.
Masjid yang bernama asli “Nurbuat” ini awalnya berbentuk Mushalla, atau Tajug dalam istilah masyarakat Cirebon, yang didirikan pada tahun 2000. Baru pada tahun 2010, dipugar dan diperbesar menjadi sebuah masjid dengan arsitektur paduan etnik Cina-Demak, demikian pengakuan pendirinya Ustadz Rohim — yang lebih suka dipanggil “kang” — saat ngobrol santai dengan bimasislam di teras masjid hari Jumat (8/5) kemarin.
Masjid etnik yang tampak dari luar serba merah ini terletak di Kelurahan Kedung Menjangan, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Berdiri di atas tanah wakaf milik Keraton Kanoman, Masjid Bata Merah memiliki luas tanah 5000 M2, yang sekarang sedang mengalami perluasan bangunan untuk tempat wudhu dan ruangan pertemuan.
Bila ditilik lebih dekat, akan tampak beberapa aspek yang menarik dari bangunan masjid ini. Di sisi luar dekat pintu masuk, tampak menara yang cukup tinggi dengan susunan atap berjumlah sembilan. Jumlah sembilan pada atap menara ini menjelaskan Wali Songo, cerita Kang Rohim.
“Anehnya, selama pembangunan masjid ini dan dijadikan tempat shalat, yang bertahan ikut serta selalu 9 (Sembilan) orang sampai rampung. Kalau ada 10 orang, pasti satu orang mengundurkan diri. Wallahu a’lam kenapa begitu”, imbuhnya dengan sikap rendah hati.
Di bawah menara ini terdapat sebuah sumur yang dikenal dengan “Sumur Berkhasiat”, yang menurut ceritanya tidak pernah kering walaupun sedang musim kemarau. Di bagian dalam masjid yang menyatu dengan pengimaman (tempat Imam Shalat), berdiri kokoh menjulang ke atas atas sejumlah 17 (tujuh belas) tiang, atau “Saka”dalam istilah masyarakat Cirebon.
Bagian dalam masjid ini sepenuhnya tanpa celah sedikitpun dicat berwarna putih. Tujuh belas tiang itu merupakan simbol dari jumlah raka’at shalat dalam sehari, ujar Rohim.
Sedangkan bagian luar masjid ini memiliki sejumlah 33 (tiga puluh tiga) tiang yang berdiri kokoh dengan warna merah hingga tembok luar dari masjid ini. Jumlah tiang di bagian luar ini merupakan simbol dari jumlah wirid Tasbih, Hamdalah, dan Takbir seusai shalat rawatib, menurutnya.
Jadi kalau diamati, hanya ada 2 warna yang tampak pada masjid ini, merah pada bagian luar peshalatan masjid ini hingga ke pelataran juga ornamen luarnya, dan putih pada bagian dalamnya yang menyatu dengan pengimaman. Warna putih menjelaskan “kesucian” yang seringkali tersemat bagi orang saleh, sedangkan warna merah menjelaskan “kesangaran” (atau “bandel”) yang seringkali disematkan kepada Preman, ulas pemuda separuh baya yang berusia sekitar 40-an tahun ini.
Yang menarik, dibalik pendirian masjid ini, ada pengalaman spiritual yang dialami pendirinya, Kang Rohim. Kepada bimasislami, tokoh agama di kampung Kedung Menjangan ini menceritakan bahwa ide pendirian masjid ini dan segala gambaran arsitekturnya berasal dari pesan gaib Syekh Abdurrahman Rauf As-Sinqili, seorang Ulama Sufi Aceh, lewat mimpi yang berulang-ulang.
Bahkan, pesan itu menegaskan waktu pembangunan masjid ini pada awalnya yang hanya berlangsung selama 100 hari. “Ternyata, tepat benar apa yang terjadi”, tegasnya dengan penuh keyakinan. Wallahu a’lam, Dia Yang Maha Kuasa atas semua itu, ucapnya di akhir obrolan. -(sumber : bimasislam/kemenag)