Memahami Implikasi Batalnya Lamaran
LAMARAN yang dilakukan seorang pria kepada seorang wanita merupakan janji menikah yang belum mengikat seperti ikatan pernikahan (mitsaaqan ghaliizhan) sehingga lamaran bisa dibatalkan oleh salah satu dari mereka.
Jika ada alasan yang syar’i atau alasan yang logis terhadap pembatalan lamaran yang bisa membuat keluarga yang akan dibangun tidak sakinah dan tidak menghadirkan maslahat maka hukumnya mubah (boleh) untuk membatalkan lamaran.
Sedangkan jika terjadi pembatalan lamaran tanpan alasan yang logis atau tanpa alasan yang syar’i maka hukumnya makruh, sebab pembatalan semacam ini sama saja dengan mengingkari janji untuk menikahinya.
Baca Juga: Memahami Kemungkinan Batalnya Lamaran
Memahami Implikasi Batalnya Lamaran
Membatalkan lamaran itu adalah hak masing-masing bagi yang melamar dan yang dilamar, karena tidak ada jaminan setelah bertunangan bisa menikah, hanya Allah yang Maha Kuasa yang menentukan dan menakdirkan jodoh setiap orang.
Menurut Imam Hambali bahwa membatalkan pertunangan diperbolehkan jika ada alasan untuk membatalkannya, seperti perasaan tidak suka seorang gadis terhadap laki-laki yang melamar atau sebaliknya, berdasarkan suatu riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menarik diri dari pertunangannya karena suatu alasan, yaitu kebencian wanita yang dilamar tersebut terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jangan beranggapan jika terjadi pembatalan lamaran karena berbagai alasan baik bersifat syar-i ataupun bersifat logis sebagai sesuatu yang aib dan merusak reputasi seseorang, sebab pernikahan harus menimbulkan kebahagiaan dan kemasalahatan.
Jika terjadi pembatalan lamaran, maka apakah implikasinya setelah itu?
Jika pihak laki-laki saat melamar memberikan kepada tunangannya uang atau hadiah-hadiah yang mahal, kemudian salah satu dari mereka membatalkan pertunangannya maka bagaimana dengan hukum harta pemberian tersebut?
Jika lamaran dibatalkan maka pernikahanpun batal. Sedangkan uang yang dibayarkan di muka sebagai persiapan prosesi pernikahan dan perhiasan emas atau perhiasan lainnya yang diberikan sebagai mahar sebelum akad dan harta seserahan lain yang sudah diberikan maka harus dikembalikan.
Karena tidak ada alasan yang sah untuk memilikinya. harta itu semua harus dikembalikan oleh pihak yang dilamar kepada pihak yang melamar.
Namun, seserahan berupa makanan, kue-kue dan buah-buahan yang sudah dimakan tidak perlu dikembalikan lagi.
Seandainya orang yang melamar dan keluarganya itu menganggap pemberian harta dan perhiasan kepada mantan tunangan itu sebagai hadiah yangg sudah direlakan dengan ikhlas untuk tidak dikembalikan lagi.
Maka harta tersebut tidak boleh ditolak oleh mantan tunangannya, karena sudah menjadi miliknya.
أَجِيْبُوْا الدَّاعِي وَلَا تَرُدُّوْا الْهَدِيَّةَ وَلَا تَضْرِبُوْا الْمُسْلِمِيْنَ
“Penuhilah undangan orang yang mengundang, jangan menolak hadiah, dan jangan pukul kaum Muslimin”(Shahih Al-Jami’)
Hadiah dalam Islam merupakan pemberian dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain dengan tanpa memperoleh imbalan apapun, hanya mengharap ridha dan balasan dari Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Namun, mantan tunangan dan keluarganya hendaknya membalas hadiah tersebut dengan hadiah pula. Dengan sikap saling dermawan tersebut bisa menghilangkan rasa sakit hati dan kecewa serta bisa menjalin silaturrahmi dan persaudaraan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَهَادَوْا تَحَابُّوا (رواه البخاري)
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
تَهَادُوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kemarahan hati”. (Hadits hasan, Misykat Al-Mashabih)
Ya Allah jadikanlah kami ahli surga.
Catatan Ustazah Dr. Aan Rohanah Lc., M.Ag di akun instagramnya @aanrohanah_16. Ustazah Aan Rohanah adalah perempuan yang Peduli Keluarga dan Pendidikan Anak. [Ln]
View this post on Instagram