KETIKA rasa cinta tak ada lagi, Allah masih menyisakan rasa tanggung jawab pada hati manusia. Inilah pertanyaan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pada seorang sahabat yang hendak menceraikan istrinya karena merasa sudah tidak mencintainya lagi.
“Sudah tidak adakah rasa tanggung jawab di hatimu ..?”
Tanggung jawab adalah kosakata yang akrab di telinga kita. Sebenarnya ia melekat dalam jiwa kita. Tanda manusia sehat jiwa.
Baca Juga: Zaman Sekarang, Tanggung Jawab terhadap Pendidikan Anak makin Besar
Dahsyatnya Tanggung Jawab Manusia
Karena naluri tanggung jawab ini, seorang ayah mencari nafkah untuk keluarganya, seorang ibu mampu menahan sakit saat melahirkan ,dan sanggup menahan kantuk saat merawat anak sakit.
Meski ia melekat dalam jiwa, tetap saja rasa tanggung jawab ini harus ditumbuhkan dan dilatih kepada anak-anak sejak kecil agar anak tumbuh dalam jiwa yang sehat sebagai ‘manusia yang penuh tanggung jawab’.
Lihatlah, jika rasa ini tumbuh dalam jiwa anak, ia akan merapihkan kembali barang-barang mainannya.
Manusia yang bertanggung jawab tidak akan buang sampah di sungai atau di kali karena sadar hal ini akan merusak lingkungan.
“Sense of responsibility” , dalam bahasa Arab “al-istisy’aru bil mas-uliyah” merupakan ciri penting baiknya kepemimpinan seseorang. Ketika rasa ini terkikis , ia akan kehilangan arah dalam memimpin.
‘Tanggung jawab’ merupakan ciri manusia yang berakal, karenanya ia dibebani kewajiban menjalankan syariat agama. Orang yang ‘tidak berakal’ atau sedang ‘kehilangan akal’ tidak dibebani kewajiban itu.
Itulah mengapa Allah membebaskan kewajiban melaksanakan ibadah bagi hambaNya yang ‘kehilangan akal’ semisal sedang pingsan, hilang ingatan (maaf- orang gila), lupa, dan tertidur (seperti kisah pemuda Al-Kahfi).
Kelak, Allah akan bertanya kepada manusia tentang tugas menjalankan misiNya menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Catatan Ustadzah Wiwi Wirianingsih di akun Facebooknya.
[Ln]